Selasa, 19 April 2016

Menonton Dadong Nge-Reh

Inilah salah satu kisah langsung dan otentik yang pernah diterima oleh Taksu terkait dengan masalah orang bisa ngeleak.
Ada suatu cerita dari daerah Sidemen Karangasem.
Sebut saja namanya Ni Luh Ayu, seorang anak kecil dengan banyak saudara dan banyak ibu.
Ia tinggal bersama dengan ibu tirinya disertai dadong (nenek) di sebuah gubuk yang sepi jauh dari pemukiman masyarakat.
Luh Ayu ketika itu masih berumur sekitar tujuh tahun.
Pada suatu hari Ni Luh Ayu melihat si dadong memegang seutas kain.
Kain itu menarik perhatian Ayu sambil mendekat. Kain itu dilihatnya berwarna poleng-poleng.
Ia tak tahu apa itu. Dadong kemudian menaruh kain panjang poleng itu di suatu tempat kusus di dalam rumah.
Dan kerap kali Ayu melihat dadongnya berbicara menghadap ke sabuk (kain poleng), seolah-olah ada yang diajak bicara.
Namun Ayu bengong saja, sebsb ia tidak mengerti apa yang dilakukan oleh dadong dan siapa yang diajak bicara.
Ayu pun bertanya kepada dadongnya tentang siapa yang diajak bicara. Dadongnya Cuma menjawab”sing dadi, sing dadi”.
Maksudnya Ayu si anak kecil tak boleh tahu siapa yang diajak bicara.
Setelah beberapa hari kemudian, suatu malam kain yang dibawa dadongnya itu dikeluarkan oleh dadong lalu diletakkan di atas meja.
Tampak oleh Ayu bahwa kain itu diajak bicara oleh dadong. Anehnya lagi kain tersebut bisa berdiri dan tampak hidup seperti ular.
Ayu bertanya pada dadong, apa yang dadong bilang, apa yang dadong lakukan? I Dadong mengatakan “ten dadi “, tak boleh, tak boleh ikut, tak boleh tahu.
Dalam beberapa saat setelah itu dadong kemudian keluar menuju halaman rumahnya dengan memakai sabuk tersebut.
Karena saking senang dan sayangnya kepada dadong, Ni Luh Ayu lalu mengikuti sambil mengatakan “dadong kar kija….
Dadong kar kija”(nenek mau kemana?). I dadong tak menyahut, langkahnya pasti dan lurus keluar rumah. Ni Ayu pun terus mengikuti dari belakang.
Sebab Luh Ayu memang tak bisa jauh-jauh dari dadongnya.
Setelah sampai di tempat tertentu, Ni Luh Ayu melihat dadongnya mengurai rambut, kemudian salah satu kakinya diangkat kemudian meloncat (nengkleng).
Ni Luh Ayu yang lugu pun setia menunggui dadongnya yang melakukan ritual yang tidak diketahuinya.
Setelah beberapa kali nengkleng sambil berputar, kemudian Luh Ayu melihat muka dari dadongnya berubah menjadi membesar dan berlubang-lubang (mungkin itu yang disebut oaring selama ini sebagai wajah seperti umah tabuan/ rumah tawon).
Ni Luh Ayu yang melihat itu sama sekali tak takut, karena ia sangat senang dan sangat sayang pada dadongnya yang diajaknya sehari-hari kemanapun pergi
Dadong yang sudah berubah wujud tersebut kemudian meneruskan langkahnya, entah kemana.
Namun Luh Ayu tetap berkata dan bertanya “dadong kar kija?” Dadongnya yang sudah menjadi liak tak menyahut dan langsung pergi.
Sempat Luh Ayu mengikuti langkah dadongnya beberapa langkah, namun dadongnya sudah semakin jauh.
Luh Ayu tak lagi mengikuti dadongnya dan bergegas kembali ke luar rumah untuk member tahu ibu tieinya yang sedang tidur.
Ia membangunkan ibu tirinya dan mengatakan “biang,biang,… dadong di sisi ngigel sambil nengkleng, muane dadi cara umah tabuan “  (ibu, ibu, … nenek diluar sana menari-nari, mukanya seperti rumah tawon).
Lalu dadong pergi entah kemana. Demikian Luh Ayu memberitahu ibu tirinya.
Biyang/ ibu tirinya menyahut seadanya, “ahh…ten dados…ten dados” (ah tidak boleh…).
Mungkin saja byang nya ini sudah mengetahui kebiasaan dadongnya yang mempraktekan ilmu pengeliakan.
Setelah mendapatkan jawaban demikian, Luh Ayu kembali mencari dadongnya keluar ke tempat dimana ia nengkleng tadi.
Ternyata dadongnya sudah ada di sana kembali.
Lalu kembali ia menanyakankepada dadongnya “dadong mare kija, dadong ngudiang?” (dadong tadi kemana dan ngapain?).
Tetap dadongnya diam seribu bahasa.
Sehingga Ayu hanya bisa menonton dadongnya, demikian juga dadongnya asyik dengan ritual liaknya.
Ketika itu Luh Ayu merasakan sakit perut ingin beol. Maka ia kemudian beol di semak-semak tak jauh dari tempat dadongnya ngeliak, sambil menonton dadongnya.
Dadongnya kemudian dilihat berjalan keliling dan sesaat hilang.
Beberapa saat kemudian dadongnya muncul tepat dari arah depan Luh Ayu yang sedang beol.
Dadongnya berubah wujud kembali menjadi kuda berkaki tiga, dua di belakang, satu di depan.
Luh Ayu menjadi bingung dan heran kok dadongnya bisa kelihatan seperti kuda berkaki tiga dan mengeluarkan suara kuk… kuk… kuk…, demikian sambil keliling melintas di depan Luh Ayu yang sedang jongkok.
Disamping itu terdengar juga suara gledug… gledug…seperti suara langkah kaki kuda.
Dadong yang sudah menjadi kuda lalu melintas di depan Luh Ayu. Ayu pun mengamati dadongnya dengan seksama.
Dan ketika kuda itu lewat di depan Ayu, ternyata dari belakang tak tampak kuda lagi.
Yang kelihatan malah dadongnya sendiri yang berjalan membungkuk tertatih-tatih sedang menggenggam sebuah tongkat dengan kedua tangannya.
Jadi kelihatan seperti kuda berkaki tiga (kaki belakang adalah dua kaki dadong, satu kaki depan adalah tongkat yang dibawanya).
Dadong tampak seperti bermuka kuda, karena dalam ritualnya dadong sambil meniup sebuah bunyi-bunyian, sehingga mulut dadong kelihatan lebih monyong.
Alat bunyi ini ditiup mengeluarkan suara kuk…kuk… kuk…Sedangkan suara gledug…gledug…tersebut adalah suara hentakan tongkat yang dibawa dadong.
Ayu yang melihat kejadian itu sama sekali tak merasa takut, cumin dia bertanya-tanya, dadongnya sedang ngapain.
Ia hanya selalu ingin dekat dengan dadongnya dan ingin agar dadongnya cepat pulang ke rumah.
Ritual malam itu pun berakhir, dadong pun kembali ke rumah diikuti Ayu. Sesampainya di rumah, dadongnya menaruh kain sesabukan itu di tempat semula.
Disarankan oleh dadong agar klu dadong keluar rumah dengan mengenakan sabuk ini malam-malam, maka tak boleh ikut.
Pada suatu hari, dengan perasaan yang biasa-biasa saja dan mungkin penasaran dengan benda seperti ikat pinggang poleng, Luh Ayu kemudian melihatnya di penyimpanan.
Dilihatnya barang tersebut tergeletak disana.
Ia mencoba untuk mengambil barang tersebut dan melilitkannya di pinggang mengikuti seperti apa yang dilakukan dadongnya.
Lalu ia berjalan ke luar.
Ternyata Luh Ayu merasakan dirinya berjalan melayang tanpa nenyentuh tanah, Ia pun merasa bingung dan ketakutan.
Ia kemudian segerakembali berjalan ke dalam rumah lalu membuka ikat pinggang tersebut serta menaruhnya kembali di tempat semula.
Ia kembali seperti biasa.
Hal itu dilakukannya tanpa sepengetahuan dadongnya.
Dan karena pernah merasakan keajaiban dari sabuk dadongnyaitu, maka ia tak berani lagi mencoba-cobamengenakan sabuk itu lagi, karena takut melayang-layang.
Demikian kisah nyata yang dialami Ni Luh Auy ketika kecil menyaksikan ritual dadongnya dengan mengenakan sabuk itu.
Ni Luh Ayu pun tak tahu apa yang dilihatnya dan apa yang dilakukan dadongnya.
Seiring dengan beriringnya waktu, maka Luh Ayu yang kecil dan lugu, kini menjadi dewasa.
Saat ini mulai memahami mengenai benda tersebut serta praktek apa yang dilakukan oleh dadongnya.
Rupanya benda seutas kaintersebut yang sering disebut orang dengan sabuk pengeliakan.
Sedangkan ritual nengkleng yang dilakukan dadongnya adalah ritual ngerehindengan sikap mesaku tunggal (berdiri dengan satu kaki) sambil menari-nari memuja Ida Betari Durga untuk mencapai puncak pemujaannya yang disebut nadi.
Pada saat nadi, maka bayu, sabda, idep, si pemuja itu kemudian menyatu dan mencapai puncaknya.
Si pelaku lalu diselimuti oleh energi suksma tertentu, sehingga yang bersangkutan tampak seperti apa yang mereka inginkan.
Ada yang diselimuti oleh energi suksma dimana mukanya tampak berubah menyeramkan berupa bojog, celuluk, jaran kebo, bade, rangda., dll.
Si pelaku liak menjadi asik dengan dirinya,menikmati puncak pemujaannya (lia/lila/liang/ seneng/ nikmat) dengan segala sensasinya.
Yang tampak seperti jaran berkaki tiga disebut dengan gegendu jaran.
Menurut cerita orang yang tahu masalah pengeliakan, jarang ada orang yang bisa dilihat atau diikuti oleh orang lain ketika  melakukan ritual nengkleng,kecuali memang satu murid seperguruan.
Namun kejadian Ni Luh Ayu yang masih kecil ini termasuk aneh.
Mungkin karena Ayu dianggap masih kecil, tak tahu apa-apa, sehingga dadongnya tak melarang Ayu menyaksikan ritual ngeleakyang ia lakukan.
Mungkin dadongnya berpikir begini “walaupun dilihat toh juga ia tidak mengerti”.
Tapi dadongnya tak berpikir bahwa apa yang dilihat oleh cucunya itu tersimpan dalam memori otaknya, lalu ketika dewasa ia akan memikirkan kembali masa kecilnya dan teringat dengan apa yang ia lihat waktu kecil.
Pada saat itulah baru ia akan tahu tentang apa yang dilakukan oleh dadongnya terdahulu.
Cucunya mulai paham bahwa ternyata dadongnya sebagai penekun ilmu leak. Dan …ketika semua itu disadari oleh Ayu, dadongnya sudah meninggal.
Nah yang menjadi pertanyaan sekarang, dimanakah sabuk itu disimpan, siapakah yang mewarisi ilmu itu sekarang? Ayu merasa heran , takjub dan kadangkala lucu ketika menceritakan pengalaman masa kecilnya itu.
Sedangkan Ni Luh Ayu sampai saat ini tak pernah menyentuh dunia liak seperti yang dilakoni oleh dadongnyaterdahulu.
Ia malah ngiring sesuhunan dan menjadi seorang spiritualis. Ayu menikah dengan dengan seorang pengusaha dari Singaraja.

Sumber: Taksu

0 komentar:

Posting Komentar