Topeng Dalem Sidakarya

di pentaskan dalam upacara keagamaan di Bali

Barong

Barong adalah Simbol Kebaikan

Rangda

Simbol dari kekuatan Betari Durga atau Hyang Durga Bairawi

Barong Landung

Simbol Dalem balingkang dan Dewi Kang Cing Wei

Barong dan Rangda

simbol penjaga Kekuatan Bali

Selasa, 19 April 2016

Bebahi atau bebai adalah penyakit yang dibuat dari raga janin dan Kanda Pat (Kanda Empat), empat saudara janin, yang dapat dikirim masuk ke dalam tubuh seseorang yang ingin dibencanai sehingga jatuh sakit.
Orang yang kena bebahi disebut bebainan (baca: Kisah Interaksi dengan Leak).
Menurut Usada Sasah Bebai tanda-tanda orang bebainan ialah orang merasakan sakit di daerah siksikan (perut diatas kemaluan, di bawah pusar).
Terasa seperti ada benda keras sebesar pisang menyumbat di hulu hati.
Akhirnya si sakit jatuh pingsan.
Ada pula yang berasal dari nyeri, diikuti kesemutan,gelisah dan terasa sakit seperti ditusuk-tusuk di seluruh tubuh serta badan terasa bengkak.
Bila sakitnya sampai ke kepala, si sakit seperti orang gila. Jika sakitnya menjalar ke pergelangan tangan, maka penderita akan kejang-kejang dan mengigau.
Jika sakitnya di lidah, maka penderita akan berbicara tak karuan-karuan.
Sering pula menjerit-jerit dan menangis sejadi-jadinya.
Kalau penderita ini dipegang, dia akan meronta-ronta dan mengeluarkan tenaga yang luar biasa, melebihi kekuatan orang biasa.
Para remaja yang paling sering terkena penyakit bebahi ini, terutama putri, menjelang kotor kain atau menstruasi (baca: Cara Menghadapi Kesurupan Massal).
Dapat pula wanita yang baru kawin atau orang-orang berada dalam keadaan lemah fisik dan mentalnya.
Untuk dapat memiliki bebahi ada beberapa cara.
Tetapi pada prinsipnya adalah sama, yakni mempergunakan janin yang digugurkan sebagai sarana.
Janin ini terjadi akibat persatuandari Kamajaya (kamapetak = mani laki-laki)dengan kama ratih (kamabang = sel telur) di dalam kundha kacupu manik (uterus) di dalam perut ibu.
Setelah kedua kama ini bersatu maka terjadilah Sang Kamareka (janin) dan empat penjaga untuk melindungi dan menghidupi Sang Kamareka.
Keempat pelindung tersebut terdiri atas yeh nyom (air ketuban), getih (darah), lamadatau lamas (kulit tipis berminyak yang membungkus janin) dan ari-ari (placenta).
Keempat alat inilah yang menjaga dan memelihara kelangsungan hidup janin selama berada di dalam uterus ibu.
Tanpa ada keempat sarana ini, maka janin tidak akan dapat berkembang dengan sempurna atau mati.
Keempatnya disebut juga dengan catur nyama , empat saudara kandung sehidup semati dalam perjalanan hidup selama di dalam garba ibu maupun setelah keluar dari kandungan ibu.
Hidup di marcapada, catur nyama ini sering pula dijuluki sebagai Sang Anggapati utntuk yeh nyom, Sang Prajapati, untuk getih, Sang Banaspati untuk ari-ari dan Sang Banaspati Raja untuk lamad.
Keempatnya ini disebut Kanda Pat.
Setelah janin lahir atau terjadi keguguran, maka Kanda Pat ini ikut pula keluar dari kandungan ibu dan masing-masing mencari tempat sendiri-sendiri untuk hidup dan meneruskan tugasnya di dunia menjaga dan mengemban saudaranya si Rare Kumara, bayi kecil mungil.
Menurut Usada Tatenger Beling, yeh nyom dianggap saudara tertua, karena dialah yang lahir paling dahulu, kemudian disusul oleh getih, lalu bayi dan lamas, terakhir yang paling bungsu lahir adalah ari-ari.
Sang Anggapati yang berasal dari yeh nyom berdiam di angga sarira mahluk hidup (buana agung) dan di kulit (buana alit).
Kawisesan Anggapati ini adalah anglukat sarwa letehing sarira, membersihkan semua kejahatan atau kekotoran badan.
Sedangkan Sang Prajapati yang berasal dari darah (buana alit).
Prajapati ini mempunyai kekuatan menolak segala mara bahaya dan keletehan.
Sang Banaspati Raja menempati pohon kayu yang besar (buana agung) dan di wat atau urat (bhuna alit).
Kawisesan dari Banaspati Raja ini yang berasal dari lamas adalah ngalahang kesaktian sarwa sastra muang mantra.
Dialah taksu (kekuatan magis) dari Balian, Dalang dan Sastrawan.
Dan yang terbungsu Sang Banaspati yang berasal dari ari-ari berada di sungai, di batu yang besar (buana agung) dan di daging (buana alit).
Dia inilah yang menguasai pekarangan, pabianan.
Dia mampu menghilangkan desti, pepasangan dan segala macam penyakit.
Karena kawisesan Kanda Pat ini maka badan manusia terhindar dari mara bahaya.
Keempatnya harus selalu diingat dan diberi sajen pada waktu-waktu tertentu.
Bila melupakan mereka, maka bencana akan menimpa orang yang mempunyai kanda pat tersebut.
Beberapa Balian mengatakan bahwa catur nyama itu dapat menjadi Kanda Pat Bhuta bila dia marah dan menjadi Kanda Pat Dewa atau Kanda Pat Sari kalau mereka baik.
Itulah sebabnya manusia harus selalu berusaha untuk menjaga agar catur nyama itu menjadi Kanda Pat Sari sehingga mereka akan tetap menjaga dirinya, serta terhindar dari gangguan penyakit.
Caranya ialah dengan senantiasa ingat padanya dan menghaturkan sajen sebagai perwujudan rasa terima kasih atas segala bantuannya baik selama di dalam kandungan maupun setelah berada di luar kandungan.
Sebenarnya catur nyama itu ada adalah berkat kasih sayang dari Hyang Widhi.
Dan beliau pula yang menugaskan kepada Kanda Pat itu untuk menjaga ciptaanNya berupa Rare Kumara agar terus hidup dan berkembang menjadi manusia sakti yang luhur budi.
Untuk membuat bebahi atau bebai yang dipergunakan ialah janin atau gugur dari kandungan setelah berumur 3 bulan. Para Balian percaya dan yakin bahwa kamareka baru menjadi Rare Kumara setelah berusia 3 bulan.
Pada usia inilah terbentuk catur nyama, yang berupa yeh nyom (air ketuban), darah, lamas dan ari-ari atau placenta.
Bayi yang berumur 3 bulan ini besarnya seujung hulu keris, dan sudah berwujud manusia, telah tampak kepala, badan sebagai manusia.
Bayi keguguran ini disimpan dalam peti kecil (sekarang disimpan di dalam stoples) dan dibuatkan sesajen sesuai dengan urutan upakara manusia yadnya, mulai dari upacara kelahiran. Setelah 3 hari dianggap tali pusar sudah putus, maka dibuatkan upacara kepus udel.
Agar bayi tidak berbau, maka dikeringkan dibawah sinar matahari.
Setelah kering dimasukkan lagi ke dalam tempat penyimpanan. Pada hari ke-42 yang di Bali disebut abulan pitung dina, dibuatkan upacara tutug kambuhan.
Dan setelah 105 hari, diadakan upacara tiga bulan, kemudian pada umur bayi 210 hari dibuatkan upacara otonan.
Upacara otonan ini terus dilakukan setiap hari ke-210 merupakan ulang tahun bagi bayi tersebut.
Semua pelaksanaan baik upacara maupun keberadaan bayi tersebut harus dirahasiakan. JIka rahasia ini dilanggar, maka akan dikutuk oleh Bhatara Dalem.
Kekuatan kemanjurannya hilang malahan akan menjadi mala petaka bagi dirinya.
Pada hari otonan 1, bayi itu pada malam hari dibawa ke kuburan, biasanya pada hari Kajeng Kliwon.
Disini dimohonkan kepada Bhatari Durga agar diberikan kekuatan pada bayi itu, sehingga menjadi sakti mandraguna.
Jika permohonannya dipenuhi, maka bayi itu memperlihatkan tandfa-tanda kehidupan.
Semenjak itu dia dianggap telah menjadi manusia hidup, sehingga disebut Rare Wong.
Sejak itu bayi telah menjadi bebahi dan harus dihidangkan sajen setiap hari tertentu, seperti purnama tilem, hari kajeng kliwon dan pada setiap hari otonannya.
Bebahi ini sewaktu-waktu telah siap dikirim oleh pemiliknya untuk membencanai orang. Tetapi sebelum disuruh membencanai orang, terlebih dahulu dihidangkan sajen berupa nasi panca warna disertai lauk daging ayam hitam.
Bersama catur nyama Kanda Pat Bhuta mereka akan memasuki badan orang yang akan dibencanai.
Bila Catur Nyama Kanda Pat Dewa atau Kanda Pat Sari dari orang yang dibencanai tidak mampu melawan Kanda Pat Bhuta ini maka orang tersebut akan terkena penyakit bebahi.
Orang itu menjadi bebahinan .
Orangnya menangis dan selalu berteriak-teriak tak ada ujung pangkalnya.
Sering pula mengamuk seperti orang gila. Balian penengen yang sakti akan mampu mengusir bebahi ini dari dalam tubuh si sakit.
Dan bebahi ini akan mengucapkan kata-kata melalui badan orang yang sakit, bahwa dia takut dan akan pergi dari badan si sakit, serta tidak akan kembali lagi ke badan itu.
Kadang-kadang bebahi menyebutkan pula siapa yang menyuruh memasuki badan orang itu.
Setelah diberi mantra seperlunya, maka si sakit akan sadar dam pulih seperti semula, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dalam tubuhnya, kecuali rasa lelah dan lemas.
Dia tidak ingat apa yang telah diperbuat dan dikatakan sewaktu kemasukan bebahi. Dia tidak sadar akan dirinya.

Bangke Maong

Dalam ranah per-leak-an, bisa menjadi Bangke Maong merupakan tingkatan yang sudah tinggi yang bisa dicapai oleh penekunnya dan membutuhkan kesabaran, ketekunan serta penugrahan dari Ida Sesuhunan.
Wujud Bangke Maong sendiri berupa mayat bau tengik yang berada di wadah-nya (bangunan untuk membawa mayat, ada yang menyebut wadah, pepaga  dll).
Para tetua di desa menasihatkan, kalau kita pas ketemu dengan Bangke Maong, kalau batin kita tidak kuat sebaiknya hal yang paling bagus dilakukan adalah menghindarkan diri agar jangan sampai melihat langsung.
Efek bila kita melihat langsung Bangke Maong tersebut adalah kita bisa kedaut (dihipnotis - red) tidak sadarkan diri bahkan bisa menjadi gila.
Di sini kekuatan batin dari orang yang bertemu Bangke Maong sangat menentukan, apabila batinnya lebih kuat maka justru Bangke Maong itu sendiri yang melarikan diri.
Kisah berikut dituturkan oleh Nyoman M (yang pernah berantem dengan teluh), orang desa yang berprofesi serabutan, kadang sebagai petani, kadang jasa pemetik kelapa, dimana Nyoman M sendiri merupakan orang yang melik atau disukai oleh yang berbau niskala.
Suatu hari di desa Nyoman M sedang dilakukan suatu ritual pengabenan karena ada seorang warga desa yang meninggal.
Seperti biasanya, Nyoman M pergi ke tempat orang yang mempunyai kedukaan tersebut untuk sekedar membantu melakukan persiapan sebelum dilakukan pengabenan.
Persiapan untuk pengabenan biasanya dilakukan di malam hari karena di siang hari kebanyakan warga desa pergi ke sawah untuk melihat hasil pertaniannya.
Dia kebetulan membantu dalam penyiapan wadah (pepaga) yang akan dipakai sebagai tempat menguung jenasah.
Saking asyiknya ikut membantu di rumah duka, tidak terasa waktu sudah lewat tengah malam. Nyoman M bergegas minta ijin untuk pulang ke rumah.
Jarak antara rumahnya dengan rumah duka sekitar satu kilometer.
Waktu itu belum ada program listrik masuk desa sehingga situasi di malam hari benar-benar gelap dan harus berhati-hati agar tidak terjatuh di tengah jalan.
Di tengah perjalanan untuk mencapai rumahnya Nyoman M harus melewati tegalan yang cukup luas.
Karena merasa bahwa dia sudah hafal betul dengan medan yang akan dilalui maka Nyoman M sama sekali tidak khawatir dengan situasi di tegalan tersebut.
Tiba-tiba dari kejauhan di dengarnya anjing yang melolong-lolong, Nyoman M masih cuek saja karena menganggap cuman kebetulan saja malam itu anjing melolong dengan panjangnya.
Dia mulai agak waspada ketika indera penciumannya mencium bau yang tidak sedap, seperti bau sesuatu yang tengik.
Ada apa gerangan?, apakah ada bangkai anjing yang sengaja dibuang di tegalan tersebut?.
Meskipun demikian karena tidak ada pilihan lain, maka Nyoman M meneruskan langkahnya untuk pulang ke rumah, memang tokoh kita satu ini termasuk orang yang sangat berani di malam hari.
Setelah masuk ke tegalan tersebut, dari jauh dia melihat sesuatu yang ganjil yang merintangi jalan setapak tersebut, dan bau tengik/busuk yang diciumnya semakin kuat saja.
Namun demikian karena rasa penasarannya, Nyoman M meneruskan langkahnya mendekati penghalang jalan setapak tersebut.
Setelah dekat alangkah terperanjatnya Nyoman M karena melihat bahwa yang menghalangi jalan setapak tersebut adalah wadah (pepaga) tempat jenasah persis seperti yang dia kerjakan di rumah duka.
Cuman wadah/pepaga ini memancarkan bau yang sangat tengik/busuk. Nyoman M yang punya rasa penasaran berlebih segera menghampiri dan memastikan apa isi bagunan wadah tersebut.
Ternyata setelah dia tengok di dalam wadah/pepaga tersebut terbujur jenasah yang keliatan hanya mukanya saja karena dibungkus kain kafan, yang memancarkan bau tengik/busuk banget.
Nyoman M segera sadar bahwa dia sedang dikerjai oleh orang yang menggunakan wujud Bangke Maong (mayat bau tengik). Ada perasaan takut mengingat akan resiko yang dihadapi apabila batinnya tidak kuat berhadapan dengan wujud leak tersebut.
Tapi Nyoman M memang termasuk orang nekat, dia berpikir biar basah sekalian nyemplung saja, maka segera dia bersiap membuka kain kafan yang membungkus jenasah tersebut dengan berdoa dalam hati memohon keselamatan pada Ida Sesuhunan.
Moment waktu membuka kain kafan itu adalah moment yang sangat kritis karena terjadi pertarungan kekuatan batin antara Nyoman M dengan pelaku ilme pengeleakan tersebut.
Dengan gerakan cuek namun pasti Nyoman M kemudian mulai membuka kain kafan tersebut dengan maksud mengeluarkan jenasah yang terbujur didalamnya.
Merasa bahwa usahanya untuk mengerjai Nyoman M gagal, maka tiba-tiba mayat yang terbujur tersebut membuka matanya dan loncat lari dengan cara meloncat loncat, anehnya wadah/pepaga tempat jenasah tersebut juga ikut kabur bersamaan.
Nyoman M memang tidak bermaksud untuk mengejarnya sehingga dia membiarkan saja mereka kabur dan melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.
Moral dari cerita ini adalah, keberanian sangat menentukan dalam menghadapi ilmu per-leak-an.

Wong Samar,Tonya,Memedi

Dalam tulisan ini , kita akan berusaha mengingat masa-masa kecil dulu.
Desa kita dulu masih sangat alami, boleh dikatakan masih asri dengan pohon-pohonan yang tumbuh liar di  sana-sini.
Sungai-sungai masih bersih airnya, tidak seperti sekarang sudah airnya kotor, berwarna, bau lagi.
Dulu kita masih bisa bermain-main di air dengan leluasanya, mau pagi, siang atau sore rasanya sangat segar dan menggembirakan.
Namun sekarang jangan harap bisa begitu lagi, sebab tempat mandi dulu airnya sudah berisi limbah peternakan babi yang sudah tentu bisa menyebabkan gatal-gatal bila kita mandi di sana.
Pohon-pohon yang dulu rindang , sekarang sudah kebanyakan ditebang dengan alasan pembangunan rumah yang terus merangsek jauh ke pedalaman desa, bahkan abing-abing (pinggiran sungai) yang dulunya indah sekarang sudah menjadi villi-villa yang penuh dengan  pesona pariwisata.
Semuanya berubah,dan kita tidak bisa menyalahkannya, kayaknya cukup jadi penonton saja.

Dulu ketika masih kecil, kita sering dinasehati oleh orang tua kita untuk jangan bermain ditempat-tempat yang sunyi, sepi,  dan sedikit angker sendirian.
Katanya nanti engkebang Memedi ( disembunyikan memedi ).
Walaupaun sekarang kayaknya tempat-tempat angker sudah sedikit keberadaannya.
Maksudnya apa ? Pernah kakak sepupu penulis tiba-tiba hilang entah kemana ketika diajak mandi dikali dekat rumah.
Lama tak kembali (pagi hilang samapai sore ).
Orang tuanya sudah bingung dan berusaha mencari orang pintar agar anaknya ketahuan keberadaannya.
Penulis masih ingat banyak orang membantu, ada yang membawa sapu lidi, ada juga yang membawa gong kecil yang terus disuarakan ( istilahnya Neng-nengan), ada yang membawa sesajen berupa laklak tape ( kue Bali ) sambil memanggil-manggil nama  kakak yang hilang.
Itu dilakaukan dari pagi hingga menjelang sore hari.
Semua tempat-tempat tersembunyi yang biasa didatanginya  ketika bermain berusaha dilacak,Tapi nihil, belum juga ketemu.
Semua sudah putus asa, ibunya menangis tak kuasa menahan kesedihan yang amat dalam.
Tiba-tiba di saat orang-orang sedang kelimpungan dia nongol sendirian sambil tertawa-tawa seolah tidak terjadi apa-apa.
Spontan semua kaget alang kepalang sambil memyebut namanya Bentir, bentir, bentir… semuanya gembira.
Hari itu langsung diadakan upacara penyambutan yang sederhana, sudah tentu dibarengi acara syukuran alias makan-makan.
Sebenarnya apa yang terjadi sungguh membingungkan.
Akhirnya  ditanya kemana saja dari pagi baru datang, sembunyi atau bagaimana, tanya orang-orang kepada  Kak Bentir.
Jawabannya sungguh mengagetkan,” Tadi mandi di kali kecil dekat rumah  di sana ada ikan besar-besar dan rasanya senang sekali”.
Tapi tadi  khan kita cari disana  sambil memanggil-manggil namamu kok tidak menyahut kenapa, tuli ? , “ Tadi saya lihat semuanya tapi tak ingin menyahut,  bingung kok saya dicari banyak orang.
“ Jawabnya dengan tenang.
Jadi tak ingin menyahut walaupun dipanggil-panggil namamu ? ,” Ya, entahlah.” jawabnya enteng.
Hal ini juga pernah terjadi pada saudara penulis di Sumbawa.
Hilang juga dan sampai sekarang tidak pernah kembali, entah kemana. Katanya  engkebang Memedi ( disembunyikan Memedi ), juga ada beberapa cerita yang lain yang juga cukup menarik untuk diperbincangkan terkait dengan hilangnya orang.
Ada juga cerita lain mengenai hilangnya alat-alat rumah tangga yang rasanya aneh bin ajaib, seperti tiba-tiba pisau dapur yang biasa dipakai kemudian ditaruh di tempat yang sudah biasa jadi hilang tiba-tiba.
Terus yang empunya pisau hanya berceloteh,” sire ngambil waliang, nyanan upahine je laklak tape .
” ( Siapa yang mengambil, tolong kembalikan,  nanti  diberi upah Kue laklak dan tape.) Tak berselang begitu lama pisau itu  sudah kembali ke tempat semula, padahal tadinya waktu hilang sudah dicariin di tempat ditemukan tadi.
Begitu juga ada kehilangan cangkul, palu, dan yang lainnya. Aneh…? Tidak !! Kenapa  ? karena sudah tentu dunia ini penuh dengan berbagai ciptanNya yang sudah tentu tidak semua kita mengerti.
Ada Memedi, Tonya, atau Wong Samar.
Sebenarnya apa mereka itu. Itu  ciptaan Beliau yang sudah tentu punya alam masing-masing.
Kita manusia biasa yang tidak memliki kemampuan tertentu tidak akan bisa melihat, apa lagi mengerti.
Terus bagaimana caranya mengerti, ya bertanya pada yang mengetahuinya.
Kebetulan penulis punya teman yang memang mempunyai  kemampuan tersebut, alias bisa berkomunikasi dengan mereka-mereka itu.
Namanya Kakek  Dukuh, asalnya dari Ubud. Penulis berusaha bertanya dan menggali dari awal sampai akhir tentang kisah hidup beliau.
Beliau dulu adalah pelaku pariwisata, berjualan barang-barang seperti patung, kipas, lukisan dengan cara diacung( dijajakan kepada tourist).
Tapi karena salah menagement beliau bangkrut dan punya hutang banyak.
Sampai-sampai  beliau lupa makan saking bingungya, habis dicari terus sama yang punya uang tempatnya berhutang.
Beliau sering tidak makan sehinggapikiranpun jadi kalut.
Akhirnya ada orang yang membantu tiba-tiba sehingga hutang jadi lunas dan pekak itupun kembali menemukan kehidupannya kembali.
Mula-mula pekak itu tidak tahu  kalau yang menolongnya itu, apa yang disebut orang Wong samar, tapi lama-kelamaan ketahuan juga.
Bahkan pekak sampai punya istri di alam sana, walaupaun ketika ditanya punya anak tidak, Beliau Cuma nyengir dengan lucunya.
Dari beliaulah penulis mendapat informasi masalah Memedi, Tonya ,Maupun Wong Samar.
Memedi itu bentuknya seperti manusia Cuma rambutnya merah dan cukup menyeramkan.
Tinggalnya di pohon-pohon yang rindang seperti rumpun bamboo, beringin, atau pohon rindang lainnya.
Dia suka bergelantungan begitu saja.
Kalau tonya bentukny seperti manusia tapi pendek , paling tinggi kurang lebih sekitar satu meteran.
Perutnya besar, mukanya seperti bayi  tapi menyeramkan.
Tinggalnya  di sungai sungai yang airnya tidak lancar alias , megumblengan ( airnya di lubang-lubang dasar sungai ).
Sedangkan Wong Samar itu, Wong artinya manusia  samar artinya tidak kelihatan. Jadi sama seperti manusia kehidupannya.
Tinggi badan, bentuk, dan juga masalah kehidupan kemasyarakatannya persis manusia. Di sana ada pemimpin, Jero mangku, Peranda , dan lainnya.
Mereka ada yang baik ada juga sebaliknya, pokonya sama seperti manusia,  Cuma mereka tidak bisa kita lihat, dan hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat seperti kakek dukuh ini.
Mereka kerap membantu orang-orang  yang mereka anggap perlu dibantu, atau ada yang meminta bantuan khusus kepada mereka atau atas titah Widhi mereka membantu.
Maka jangan heran bila sedang membuat pura yang diperkirarakan berhari-hari malah berbulan-bulan,  tiba-tiba selesai bisa dalam  beberapa hari saja.
Tiba-tiba perkerjaan yang berat jadi ringan, mungkin.
Mereka tinggal seperti manusia, ada rumah, ada jalan raya, dan sebagainya.
Cuma mereka tinggal di tempat tempat seperti di pinggiran sungai besar ( Abing).
Jadi kata Pekak dukuh,” Jro Mangku tuh rumah-rumah mereka sambil menunjuk ke pinggiran abing ( sungai ) lantas sungai besar itu adalah jalan raya.
Terus batu-batu besar di tengah sungai  rumah mereka , katanya. Ada pintu, ada atap walaupun kita melihat itu Cuma batu besar.
Kemudian di pohon-pohon besar juga demikian adanya.
Maka jangan heran orang sangat berhati-hati menebang pohon besar, karena mungkin saja itu merupakan tempat tinggal mereka,  bahkan kalau mau ditebang terkadang harus mendatangkan orang yang mampu berkomunikasi dengan mereka seperti Pekak Dukuh ini.
Pekak Dukuh ini  juga menceriterakan bagaimana beliau sering membantu orang mencari orang hilang.
,” Kalau masih satu dua jam , biasanya masih ditempatnya  hilang bisa dicari.
Tapi kalau sudah lewat tengah hari, wah sudah berpindah tempat , seperti kalau hilang di Denpasar, bisa jadi harus dicari ke Tabanan, itupun dengan bantuan teman Pekak ini  yang notabanenya wong samar.
Apalagi kalau yang hilang sudah senang di sana ,  sudah sempat memakai baju pemberian wong samar waduh  lebih baik dilupakakan saja, karena untuk kembali kealam manusia kayaknya sudah susah.
Waduh ngeri juga ya.. Ah biasa kayak berteman sesama manusia , Cuma terkadang membuat orang bingung bila tiba-tiba diajak bicara, sedangkan orang tidak tahu kita sedang bicara dengan siapa. Seperti saat diajak ngobrol, tiba-tiba pekak menyetop pembicaraan dengan menaikkan tangannya ke panulis,”Sebentar ada uyang mau bicara, “ katanya sambil bicara entah dengan siapa.
setelah itu beliau bicaralagi ke penulis, “ Sampai di sini saja tak boleh diceritakan semuanya, ada yang marah ,” katanya


Sumber: Jro Mangku (JM) Kuningan

Menonton Dadong Nge-Reh

Inilah salah satu kisah langsung dan otentik yang pernah diterima oleh Taksu terkait dengan masalah orang bisa ngeleak.
Ada suatu cerita dari daerah Sidemen Karangasem.
Sebut saja namanya Ni Luh Ayu, seorang anak kecil dengan banyak saudara dan banyak ibu.
Ia tinggal bersama dengan ibu tirinya disertai dadong (nenek) di sebuah gubuk yang sepi jauh dari pemukiman masyarakat.
Luh Ayu ketika itu masih berumur sekitar tujuh tahun.
Pada suatu hari Ni Luh Ayu melihat si dadong memegang seutas kain.
Kain itu menarik perhatian Ayu sambil mendekat. Kain itu dilihatnya berwarna poleng-poleng.
Ia tak tahu apa itu. Dadong kemudian menaruh kain panjang poleng itu di suatu tempat kusus di dalam rumah.
Dan kerap kali Ayu melihat dadongnya berbicara menghadap ke sabuk (kain poleng), seolah-olah ada yang diajak bicara.
Namun Ayu bengong saja, sebsb ia tidak mengerti apa yang dilakukan oleh dadong dan siapa yang diajak bicara.
Ayu pun bertanya kepada dadongnya tentang siapa yang diajak bicara. Dadongnya Cuma menjawab”sing dadi, sing dadi”.
Maksudnya Ayu si anak kecil tak boleh tahu siapa yang diajak bicara.
Setelah beberapa hari kemudian, suatu malam kain yang dibawa dadongnya itu dikeluarkan oleh dadong lalu diletakkan di atas meja.
Tampak oleh Ayu bahwa kain itu diajak bicara oleh dadong. Anehnya lagi kain tersebut bisa berdiri dan tampak hidup seperti ular.
Ayu bertanya pada dadong, apa yang dadong bilang, apa yang dadong lakukan? I Dadong mengatakan “ten dadi “, tak boleh, tak boleh ikut, tak boleh tahu.
Dalam beberapa saat setelah itu dadong kemudian keluar menuju halaman rumahnya dengan memakai sabuk tersebut.
Karena saking senang dan sayangnya kepada dadong, Ni Luh Ayu lalu mengikuti sambil mengatakan “dadong kar kija….
Dadong kar kija”(nenek mau kemana?). I dadong tak menyahut, langkahnya pasti dan lurus keluar rumah. Ni Ayu pun terus mengikuti dari belakang.
Sebab Luh Ayu memang tak bisa jauh-jauh dari dadongnya.
Setelah sampai di tempat tertentu, Ni Luh Ayu melihat dadongnya mengurai rambut, kemudian salah satu kakinya diangkat kemudian meloncat (nengkleng).
Ni Luh Ayu yang lugu pun setia menunggui dadongnya yang melakukan ritual yang tidak diketahuinya.
Setelah beberapa kali nengkleng sambil berputar, kemudian Luh Ayu melihat muka dari dadongnya berubah menjadi membesar dan berlubang-lubang (mungkin itu yang disebut oaring selama ini sebagai wajah seperti umah tabuan/ rumah tawon).
Ni Luh Ayu yang melihat itu sama sekali tak takut, karena ia sangat senang dan sangat sayang pada dadongnya yang diajaknya sehari-hari kemanapun pergi
Dadong yang sudah berubah wujud tersebut kemudian meneruskan langkahnya, entah kemana.
Namun Luh Ayu tetap berkata dan bertanya “dadong kar kija?” Dadongnya yang sudah menjadi liak tak menyahut dan langsung pergi.
Sempat Luh Ayu mengikuti langkah dadongnya beberapa langkah, namun dadongnya sudah semakin jauh.
Luh Ayu tak lagi mengikuti dadongnya dan bergegas kembali ke luar rumah untuk member tahu ibu tieinya yang sedang tidur.
Ia membangunkan ibu tirinya dan mengatakan “biang,biang,… dadong di sisi ngigel sambil nengkleng, muane dadi cara umah tabuan “  (ibu, ibu, … nenek diluar sana menari-nari, mukanya seperti rumah tawon).
Lalu dadong pergi entah kemana. Demikian Luh Ayu memberitahu ibu tirinya.
Biyang/ ibu tirinya menyahut seadanya, “ahh…ten dados…ten dados” (ah tidak boleh…).
Mungkin saja byang nya ini sudah mengetahui kebiasaan dadongnya yang mempraktekan ilmu pengeliakan.
Setelah mendapatkan jawaban demikian, Luh Ayu kembali mencari dadongnya keluar ke tempat dimana ia nengkleng tadi.
Ternyata dadongnya sudah ada di sana kembali.
Lalu kembali ia menanyakankepada dadongnya “dadong mare kija, dadong ngudiang?” (dadong tadi kemana dan ngapain?).
Tetap dadongnya diam seribu bahasa.
Sehingga Ayu hanya bisa menonton dadongnya, demikian juga dadongnya asyik dengan ritual liaknya.
Ketika itu Luh Ayu merasakan sakit perut ingin beol. Maka ia kemudian beol di semak-semak tak jauh dari tempat dadongnya ngeliak, sambil menonton dadongnya.
Dadongnya kemudian dilihat berjalan keliling dan sesaat hilang.
Beberapa saat kemudian dadongnya muncul tepat dari arah depan Luh Ayu yang sedang beol.
Dadongnya berubah wujud kembali menjadi kuda berkaki tiga, dua di belakang, satu di depan.
Luh Ayu menjadi bingung dan heran kok dadongnya bisa kelihatan seperti kuda berkaki tiga dan mengeluarkan suara kuk… kuk… kuk…, demikian sambil keliling melintas di depan Luh Ayu yang sedang jongkok.
Disamping itu terdengar juga suara gledug… gledug…seperti suara langkah kaki kuda.
Dadong yang sudah menjadi kuda lalu melintas di depan Luh Ayu. Ayu pun mengamati dadongnya dengan seksama.
Dan ketika kuda itu lewat di depan Ayu, ternyata dari belakang tak tampak kuda lagi.
Yang kelihatan malah dadongnya sendiri yang berjalan membungkuk tertatih-tatih sedang menggenggam sebuah tongkat dengan kedua tangannya.
Jadi kelihatan seperti kuda berkaki tiga (kaki belakang adalah dua kaki dadong, satu kaki depan adalah tongkat yang dibawanya).
Dadong tampak seperti bermuka kuda, karena dalam ritualnya dadong sambil meniup sebuah bunyi-bunyian, sehingga mulut dadong kelihatan lebih monyong.
Alat bunyi ini ditiup mengeluarkan suara kuk…kuk… kuk…Sedangkan suara gledug…gledug…tersebut adalah suara hentakan tongkat yang dibawa dadong.
Ayu yang melihat kejadian itu sama sekali tak merasa takut, cumin dia bertanya-tanya, dadongnya sedang ngapain.
Ia hanya selalu ingin dekat dengan dadongnya dan ingin agar dadongnya cepat pulang ke rumah.
Ritual malam itu pun berakhir, dadong pun kembali ke rumah diikuti Ayu. Sesampainya di rumah, dadongnya menaruh kain sesabukan itu di tempat semula.
Disarankan oleh dadong agar klu dadong keluar rumah dengan mengenakan sabuk ini malam-malam, maka tak boleh ikut.
Pada suatu hari, dengan perasaan yang biasa-biasa saja dan mungkin penasaran dengan benda seperti ikat pinggang poleng, Luh Ayu kemudian melihatnya di penyimpanan.
Dilihatnya barang tersebut tergeletak disana.
Ia mencoba untuk mengambil barang tersebut dan melilitkannya di pinggang mengikuti seperti apa yang dilakukan dadongnya.
Lalu ia berjalan ke luar.
Ternyata Luh Ayu merasakan dirinya berjalan melayang tanpa nenyentuh tanah, Ia pun merasa bingung dan ketakutan.
Ia kemudian segerakembali berjalan ke dalam rumah lalu membuka ikat pinggang tersebut serta menaruhnya kembali di tempat semula.
Ia kembali seperti biasa.
Hal itu dilakukannya tanpa sepengetahuan dadongnya.
Dan karena pernah merasakan keajaiban dari sabuk dadongnyaitu, maka ia tak berani lagi mencoba-cobamengenakan sabuk itu lagi, karena takut melayang-layang.
Demikian kisah nyata yang dialami Ni Luh Auy ketika kecil menyaksikan ritual dadongnya dengan mengenakan sabuk itu.
Ni Luh Ayu pun tak tahu apa yang dilihatnya dan apa yang dilakukan dadongnya.
Seiring dengan beriringnya waktu, maka Luh Ayu yang kecil dan lugu, kini menjadi dewasa.
Saat ini mulai memahami mengenai benda tersebut serta praktek apa yang dilakukan oleh dadongnya.
Rupanya benda seutas kaintersebut yang sering disebut orang dengan sabuk pengeliakan.
Sedangkan ritual nengkleng yang dilakukan dadongnya adalah ritual ngerehindengan sikap mesaku tunggal (berdiri dengan satu kaki) sambil menari-nari memuja Ida Betari Durga untuk mencapai puncak pemujaannya yang disebut nadi.
Pada saat nadi, maka bayu, sabda, idep, si pemuja itu kemudian menyatu dan mencapai puncaknya.
Si pelaku lalu diselimuti oleh energi suksma tertentu, sehingga yang bersangkutan tampak seperti apa yang mereka inginkan.
Ada yang diselimuti oleh energi suksma dimana mukanya tampak berubah menyeramkan berupa bojog, celuluk, jaran kebo, bade, rangda., dll.
Si pelaku liak menjadi asik dengan dirinya,menikmati puncak pemujaannya (lia/lila/liang/ seneng/ nikmat) dengan segala sensasinya.
Yang tampak seperti jaran berkaki tiga disebut dengan gegendu jaran.
Menurut cerita orang yang tahu masalah pengeliakan, jarang ada orang yang bisa dilihat atau diikuti oleh orang lain ketika  melakukan ritual nengkleng,kecuali memang satu murid seperguruan.
Namun kejadian Ni Luh Ayu yang masih kecil ini termasuk aneh.
Mungkin karena Ayu dianggap masih kecil, tak tahu apa-apa, sehingga dadongnya tak melarang Ayu menyaksikan ritual ngeleakyang ia lakukan.
Mungkin dadongnya berpikir begini “walaupun dilihat toh juga ia tidak mengerti”.
Tapi dadongnya tak berpikir bahwa apa yang dilihat oleh cucunya itu tersimpan dalam memori otaknya, lalu ketika dewasa ia akan memikirkan kembali masa kecilnya dan teringat dengan apa yang ia lihat waktu kecil.
Pada saat itulah baru ia akan tahu tentang apa yang dilakukan oleh dadongnya terdahulu.
Cucunya mulai paham bahwa ternyata dadongnya sebagai penekun ilmu leak. Dan …ketika semua itu disadari oleh Ayu, dadongnya sudah meninggal.
Nah yang menjadi pertanyaan sekarang, dimanakah sabuk itu disimpan, siapakah yang mewarisi ilmu itu sekarang? Ayu merasa heran , takjub dan kadangkala lucu ketika menceritakan pengalaman masa kecilnya itu.
Sedangkan Ni Luh Ayu sampai saat ini tak pernah menyentuh dunia liak seperti yang dilakoni oleh dadongnyaterdahulu.
Ia malah ngiring sesuhunan dan menjadi seorang spiritualis. Ayu menikah dengan dengan seorang pengusaha dari Singaraja.

Sumber: Taksu

Banaspati Raja

Berikut merupakan kisah yang dituturkan sesepuh desa penulis yang terjadi waktu Beliau masih muda.
Waktu itu belum ada listrik ataupun alat penerangan canggih lainnya.
Sesepuh tersebut, sebut saja namanya Nang R, mempunyai profesi sebagai petani yang rajin sekali pergi ke sawah tanpa mengenal waktu.
Kadang-kadang Beliau menghabiskan malamnya di sawah hanya untuk menungguin tanamannya.
Untuk menuju ke areal persawahan, Beliau harus melewati jalanan yang sangat sepi, kuburan/setra Pura Dalem dan seterusnya.
Situasi waktu masih sangat rimbun karena masih sangat banyak pepohonan besar yang tumbuh di daerah Beliau tinggal ketika itu.
Suatu hari Nang R seperti biasa pergi ke sawah untuk mengawasi tanamannya, waktu itu bulan menerangi bumi dengan sejuknya, setelah lewat tengah malam barulah Nang R sadar bahwa ada sesuatu yang harus dikerjakan di rumah.
Dengan tidak memperhitungkan waktu, Beliau segera berkemas untuk pulang ke rumah.
Suasana yang sepi dan gelap hanya diterangi cahaya bulan tidak menghalangi gerak langkahnya untuk segera pulang.
Pas sampai di jalan yang berdekatan dengan kuburan/setra (baca: Dewa Shiva), Beliau berhenti karena melihat ada sesuatu yang menghalangi/menutup jalan di depannya.
Dengan bantuan cahaya bulan, Beliau melakukan pengamatan, dan mendapatkan kenyataan yang mengherankan, karena sesuatu yang menghalangi jalan tersebut adalah mahluk hidup yang sedang tertidur terlentang.
Dengan rasa penasaran Nang R mendekati mahluk itu, dan Beliau menjadi bingung akan bentuk mahluk itu.
Kalau diperhatikan, mahluk itu seperti Barong, Nang R heran, siapa yang meninggalkan Barong di tengah jalan malam-malam begini.
Diperhatikan lebih seksama, Nang R menjadi bingung karena mahluk ini memiliki (maaf) buah pelir yang sangat besar seperti sapi jantan.
Kok barong bisa memiliki begituan ya, dengan ngak habis pikir dia terus mengamati mahluk tersebut.
Pada dasarnya Nang R memiliki sifat iseng dan usil, dengan santainya tanpa memikirkan resikonya, kemaluan dari mahluk tersebut disentil dengan jari tangannya.
Yang terjadi sungguh sangat mengagetkan, mahluk tersebut tiba-tiba bersin, huaaasiiiitttt, dan udara yang keluar dari hidung mahluk tersebut membuat Nang R terpental jatuh dan tidak sadar diri.
Setelah kesadarannya pulih, pelan-pelan dia mengamati keadaan sekitarnya, dia tersadar bahwa dia berada di debat bale banjar, dimana jarak antara tempat mahluk itu dengan bale banjar sekitar 2 km.
Bisa dibayangkan alangkah kuat nya semburan bersin mahluk tersebut, dan alangkah mujurnya Nang R sehingga Beliau masih selamat dari kemarahan mahluk tersebut.
Ternyata, selain sebagai petani, Nang R juga sangat rajin sembahyang ke pura, sehingga Ida Sesuhunan menyelamatkan Nang R ketika berada dalam keadaan genting.
Nang R penasaran akan mahluk tersebut, dan ketika ditanyakan ke orang yang lebih pintar, Beliau mendapat keterangan bahwa mahluk tersebut adalah Banaspati Raja, yang kebetulan bersemayam dan sedang istirahat di tempat tersebut.
Moral dari cerita ini adalah, jangan usil dan rajinlah sembahyang


Sumber : http://www.puragunungsalak.com

Ngintip Paruman Leak

Kehidupan di alam per-leak-an juga mirip dengan yang ada di dunia manusia. Menurut penuturan orang-orang yang pernah berkecimpung di dunia itu, mereka para Leak juga mempunyai perkumpulan dan sekali-sekali mengadakan pertemuan (bahasa kerennya meeting) untuk membicarakan berbagai hal. Biasanya topik yang dibahas seputar ilmu yang baru atau kemungkinan akan terjadi perang leak (siat peteng) dan diakhiri dengan membayar utang-piutang di antara para Leak.

Sebut saja namanya Ketut A (sekarang berprofesi sebagai Pemangku di salah satu Pura di Jabodetabek) mengisahkan kepada penulis pengalamannya ngintip yang namanya paruman/pertemuan Leak waktu Beliau masih muda.

Ketut A mempunyai sifat yang agak jahil/usil suka menggoda/ngerjain teman-temannya sewaktu muda. Di usia yang relatif muda Ketut A sudah mendengar tentang adanya dunia Leak dan hal ini membuatnya penasaran akan kebenaran dunia tersebut.

Kebetulan Ketut A memepunyai seorang paman yang mempunyai kemampuan di bidang tersebut. Dengan segala upaya Ketut A merayu pamannya agar mau diikutkan dalam pengalaman di dunia per-Leakan. Akhirnya Pamannya menyanggupi dengan syarat Ketut A mematuhi segala perintah pamannya. Dengan tanpa berpikir panjang Ketut A pun menyanggupi persyaratan tersebut.

Suatu hari sebelum Kajeng Kliwon, pamannya mengajak Ketut A untuk pergi ke suatu Pura (Ketut A lupa nama Pura tersebut) yang berada di puncak perbukitan. Dengan sangat bersemangat Ketut A ikut langkah pamannya tersebut dan berangkatlah mereka ke sana.

Mereka tiba sore hari Pura tersebut dan melihat keadaan tempat itu  berada di puncak perbukitan yang banyak ditumbuhi pepohonan. Ada bale pertemuan (semacam bale banjar) di madya mandala Pura tersebut. Pura itu mempunyai arsitektur yang kuno menambah suasana magis. Pamannya mengajak Ketut A untuk melakukan persembahyangan untuk memohon keselamatan sebelum melakukan aksinya. Ketut A sendiri masih menebak-nebak karena belum dikasih tahu pamannya tentang hal yang akan dilakukan di Pura tersebut.

Yang lebih mengejutkan hati Ketut A, setelah sembahyang pamannya menyuruhnya untuk membaluri semua badannya dengan kotoran sapi. Kebetulan di tegalan deket Pura ada kotoran sapinya. Ketika ditanya kenapa harus melumuri badan dengan kotoran sapi, maka pamannya menjawab itu untuk menyembunyikan bau badan Ketut A sebagai seorang manusia.

Selanjutnya pamannya Ketut A menyuruhnya untuk naik ke atas plafon dari bangunan yang menyerupai bale banjar tersebut dan bersembunyi di sana. Setelah Ketut A mengambil posisi sembunyi, maka pamannya Ketut A meninggalkannya di sana sendirian, dengan berpesan apapun yang terjadi, jangan pernah turun dari plafon tersebut sampai pagi hari.

Sendirian si Ketut bersembunyi di atas plafon, dia agak bete juga karena suasana gelap dan dikerubutin nyamuk, apalagi badannya dilumuri oleh kotoran sapi. Setelah kira-kira jam 11 malam si Ketut bersembunyi, tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah yang sangat berat, bumi bagai bergetar karena langkah tersebut. Si Ketut penasaran, tapi mengingat pesan pamannya dia dengan tabah bersembunyi dan tidak berani bergerak.

Ternyata yag datang adalah sesosok mahluk yang berukuran raksasa, berkepala gundul, orang menyebutnya leak gundul, dengan suara menggeram segera duduk di dalam bangunan bale banjar tersebut. Si Ketut terkejut, tapi dia tidak bisa mengelurakan suara, saking takutnya.

Tidak berapa lama kemudian menyusul mahluk Leak yang lain, diantaranya bojog (monyet), bangkal (babi), jaka punggul, bangke maong, raksasa, celuluk, rangda, burung garuda, semua pada datang dan mengambil tempat di bangunan yang menyerupai bale banjar tersebut.

Berbagai macam endihan api juga ikut meramaikan malam itu. Si Ketut baru sadar bahwa yang sedang terjadi adalah paruman Leak di tempat tersebut. Dengan cermat dia menguping apa yang mereka bicarakan, rupanya para Leak mendiskusikan berbagai macam hal, mulai dari ilmu, perang malam atau yang disebut siat peteng, dan terakhir adalah utang piutang yang harus dilunasi.

Rupanya diantara Leak ada yang mencium keanehan, seperti ada manusia yang ngintip, tapi pimpinan Leak yang berupa raksasa gundul segera bilang itu mungkin sapi, karena berbau kotoran sapi. Rupanya baluran kotoran sapi di tubuh si Ketut sangat menjur untuk mengelabui Leak (sebaiknya jangan dicoba deh-red).

Pas lagi rame-rame nya para Leak berdiskusi, maka si Ketut A yang pada dasarnya iseng dan jahil dengan sengaja mendorong talenan (alas untuk mencincang sayur/bumbu/daging) yang berdiameter sekitar 50 cm dan dijatuhkan dari atas.

Bunyi talenan jatuhpun berdebum, dan peristiwa itu sangat mengejutkan para Leak, merekapun segera lari tunggang langgang, dikiranya rerencangan (pengiring) dari Ida Bathara di Pura tersebut tedun dan marah. Saking tergesa-gesanya mereka, maka buku tempat catatan semua kegiatan perkumpulan Leakpun tertinggal di tempat itu.

Setelah situasi sepi, si Ketut segera turun dan tertawa terpingkal-pingkal, diapun langsung mengambil buku tersebut dan ngacir pulang ke rumah.

Besoknya pamannya datang ke rumah dan dengan kesal memaki-maki si Ketut dan meminta buku catatan tersebut. Rupanya yang memimpin para Leak tersebut yang berwujud raksasa gundul adalah pamannya.

Si Ketut A pun segera mengembalikan buku itu, dan atas nasehat pamannya dia langsung merantau ke Jawa untuk menghindari balas dendam perkumpulan leak yang sudah dia kerjai.

Mangku Ketut A menceritakan kisah ini dengan tertawa, mengingat bahwa betapa jahilnya dia waktu mudanya.


Sumber : http://www.puragunungsalak.com

Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali

Leak Desti di Bali dari jaman dulu kala sudah menjadi fenomena yang tak pernah sirna dimakan jaman, keberadaannya dari dulu menjadi momok yang menakutkan masyarakat.

Leak Desti adalah perwujudan ilmu leak tingkat paling bawah yaitu perwujudannya bisa berbentuk binatang yang namanya Lelakut yaitu sejenis kadal yang besar berbadan hitam loreng-loreng, berkepala manusia berwajah seram dan hitam, rambutnya terurai, taringnya panjang, giginya runcing, matanya lebar dan menyala keluar api berwarna hijau, mempunyai ekor panjang warnannya loreng hitam putih.

Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali Leak Desti ada juga berbentuk binatang yang namanya Bebae yaitu sejenis binatang kambing berbulu putih mulus, mempunyai telinga panjang menjulur kebawah sampai menyentuh tanah.

Leak Desti ini sasarannya adalah orang-orang yang penakut sehingga kalau orang yang ketakutan ini melihat leak Desti maka ia akan lari terbirit-birit dan bisa terjatuh dan pada saat jatuh itulah maka Leak Desti ini akan menyerang dan akan mengisap darah orang yang terjatuh tadi.

Disamping orang yang ketakutan juga bisa disasar anak-anak kecil terutama bayi-bayi sehingga bayi-bayi itu bisa menangis terus-menerus dan tidak mau menyusu pada ibunya dan lama-lama sampai anak kecil tersebut jatuh sakit.

Leak Desti ini di Bali ada penangkalnya yaitu melalui orang-orang Wiku yaitu orang yang sudah menguasai ilmu pengobatan yang disebut ilmu Usada Bali (pengobatan tradisional Bali).

Pada Jaman Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada abab ke 16, ada seorang Abdi Kerajaan yang bernama I Gede Basur yang rumahnya ada di salah satu Desa di Daerah Pengunungan, yaitu di Desa Karang Pengastian.

Pada waktu I Gede Basur masih hidup pernah menulis buku lontar Pengeleakan dua buah yaitu Lontar Durga Bhairawi dan Lontar Ratuning Kawisesan.

Lontar ini memuat tentang tehnik-tehnik Ngereh Leak Desti. Ngereh artinya proses perubahan wujud dari manusia menjadi Leak. Leak adalah wujud siluman jahat (setan). Desti adalah perwujudan binatang siluman manusia dalam bentuk binatang yang aneh dan seram.

Adapun Tehnik Ngereh Leak Desti tersebut adalah sebagai berikut :
Dalam ajaran Agama Hindu mengenal tiga Kerangka Dasar yaitu Tatwa, Etika, Upakara. Jadi walaupun menjalankan ilmu pengeleakan mereka tetap melaksanakan tiga hal yaitu :
a. Tatwa berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan harus menyadari tentang ajarannya.
b. Etika berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan pasti akan melaksanakan mengenai tehnik-tehnik tingkah lakunya.
c. Upakara berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan sudah tentunya melaksanakan upakara-upakara seperti menghaturkan sesajen (banten dalam bahasa bali) sebagai sarana upakara.

Sebelum Ngereh (proses perubahan wujud) menjadi Leak Desti, orang yang menjalankan pengeleakan terlebih dahulu melaksanakan beberapa tahapan kegiatan dengan melakukan berbagai permohonan. Adapun tahapan-tahapan kegiatan ngereh tersebut adalah sebagai berikut :

a. Memasang pasirep yaitu mengeluarkan ilmu kesaktian agar semua mahluk hidup yang ada di sekitarnya semuannya tertidur lelap.

b. Mencari tempat ngereh yaitu mencari tempat yang paling strategis dan aman seperti misalnya di Kuburan, pada perempatan jalan, atau bisa di sawah yang penting tempat tersebut sepi.

c. Mempersiapkan upakara berupa sarana banten yang berkaitan dengan ilmu pengeleakan.

d. Melakukan permohonan-permohonan agar proses ngereh dapat berlangsung sesuai dengan yang diinginkan kepada Tuhan dalam segala bentuk menifestasinya yaitu :

Pertama mohon kepada yang bernama Butha Peteng (perwujudan unsur alam gelap) untuk memagari tempatnya agar siapa yang lewat supaya tidak melihat, dilanjutkan kemudian dengan memasang ilmu pengreres (ilmu penakut) agar yang lewat menjadi ketakutan.

Kedua mohon kepada yang bernama Butha Keridan (perwujudan unsur alam terbalik) agar pengelihatan orang bisa terbalik yaitu yang di atas bisa terlihat di bawah.

Ketiga secara berturut-turut mohon kepada yang bernama Sang Kala Jingkrak, Butha Lenga, Butha Ringkus, Butha Jengking dan terakhir mohon kepada yang bernama sang Butha Kapiragan, agar segala permohonannya bisa terkabul.

Sang Kala Jingkrak, Butha Lenga, Butha Ringkus, Butha Jengking dan Butha Kapiragan adalah nama-nama Butha Kala yang menguasai Ilmu Pengleakan.

Keempat setelah proses permohonan selesai, dilanjutkan dengan kegiatan muspa (sembahyang) dengan posisi badan terbalik yang dilanjutkan dengan nengkleng (berdiri dengan kaki satu) berjalan nengkleng mengitari "sanggah cucuk" (tempat menaruh sesajen yang terbuat dari batang bambu), sesuai dengan tingkat ilmunya dengan posisi putaran berjalan nengkleng kearah kiri.

Dengan melalui ngereh tersebut diatas maka orang yang menguasai ilmu pengeleakan bisa berubah wujud sesuai tingkat ilmu pengeleakan yang dikuasainya yaitu kalau tingkat Desti maka orang tersebut bisa berubah wujud menjadi binatang yang aneh-aneh dan seram, begitulah ilmu pengeleakan yang dikuasai oleh I Gede Basur sehingga dia diantara para abdi kerajaan yang paling ditakuti dan paling diandalkan sebagai Tabeng Dada.

Guru Ilmu Pengiwa leak Desti

Sebagai seorang Abdi Kerajaan I Gede Basur sangatlah menguasai ilmu pengiwa leak desti. Ilmu pengiwa adalah ilmu kewisesan dari aliran kiri atau aliran ilmu hitam.
Atas kedigjayaannya tersebut menyebabkan I Gede Basur menjadi sangat terkenal sampai ke pelosok desa. Sehingga saat itu banyak sekali orang yang datang ke rumahnya. Ada yang datang dengan tujuan untuk belajar ilmu pengiwa, dan banyak pula yang datang hanya untuk mendapat pekakas atau penganggo atau jimat-jimat sakti atau bertuah sesuai dengan keinginan orang tersebut.

Banyak pula yang datang untuk mendapatkan sarana pengleakan di tempat I Gede Basur yang sakti. Sarana tersebut seperti : pengasren (semacam pelet), yakni sarana magis agar orang yang bersangkutan menjadi kelihatan selalu cantik dan tampan, awet muda dan mempunyai daya pikat yang tinggi. Dengan sarana tersebut orang akan mudah dapat memikat lawan jenis yang dikehendakinya. Kemudian ada pula yang disebut dengan pengeger (semacam penglaris) yang dapat menyebabkan si pemakai menjadi laris dalam berdagang atau berusaha, dengan harapan si pemakai menjadi semakin kaya. Kemudian ada pula yang disebut dengan pengasih-asih, yakni sarana yang dapat membuat orang menjadi jatuh cinta kepada orang yang menggunakan sarana tersebut. Atau dapat pula disebut dengan sarana guna-guna. Seperti misalnya : guna lilit, guna jaran guyang, guna tuntung tangis, dan lain-lain macamnya. Ada pula yang datang ke tempat I Gede Basur hanya untuk mendapatkan penangkeb, yakni sarana gaib atau mistis agar orang lain atau orang banyak menjadi tunduk. Dengan demikian orang tersebut dapat mengendalikan, mengarahkan, menguasai, atau menyetir orang lain atau orang banyak sesuai dengan keinginannya. Orang yang telah terkena ilmu penangkeb tak ubahnya seperti kerbau yang dicocok hidungnya, sehingga akan menjadi penurut sesuai perintah atau keinginan dari orang yang mengenakan ilmu penangkeb.

Dengan tersohornya I Gede Basur tersebut menyebabkan orang-orang secara silih berganti datang ke rumahnya di Desa Karang Pengastian. Lebih-lebih pada dewasa bagus atau pada hari Kajeng Kliwon misalnya, sangat banyak dan ramai orang datang ke rumahnya dengan berbagai macam keperluan. Diceritakan kemudian I Gede Basur juga mempunyai banyak sisya atau murid yang belajar ilmu pengiwa leak desti.

I Gede Basur disertai oleh seluruh murid-muridnya tekun melakukan dewasraya, mohon kehadapan Hyang Betari Durga agar pengiwa yang mereka pelajari menjadi sakti dan manjur. Didahului dengan melakukan penyucian diri. Kemudian tatkala malam mereka menuju Kayangan Pengulun Setra, memohon kehadapan Hyang Betari bersaranakan sesajen seperti : sebuah daksina, uang kepeng, canang, ketipat kelanan, arak berem, injin, dupa, menyan, canang lenge wangi burat wangi, nyahnyah, gegringsingan, geti-geti, dan pisang mas. Kemudian duduk bersila di hadapan kayangan, bersemedi memanunggalkan bayu atau tenaga, sabda atau suara, idep atau pikiran, memohon anugrah kehadapan Hyang Nini Betari Bagawati atau Ida Betari Durga Dewi.

Kewisesan yang diporolehnya kemudian disebarluaskan secara rahasia dengan menggunakan sarana seperti mas, mirah, tembaga, kertas merajah, dan lain-lain. Ada pula dalam bentuk bebuntilan (bungkusan kecil yang berisikan sarana tertentu). Si pemakai pengiwa tersebut juga diberikan rerajahan ongkara sungsang (ongkara terbalik) pada lidah, gigi, kuku, atau bagian tubuh tertentu lainnya. Atau ada pula penggunaan pengiwa dengan jalan maled (menelan sarana yang diberikan oleh gurunya). Sarana pengiwa tersebut dibakar sebelumnya, kemudian abunya dibungkus dengan buah pisang mas, dan kemudian ditelan. Setelah itu didorong masuk ke dalam tubuh dengan menggunakan tirta atau air suci.

Selain dari itu, ada pula praktek pengiwa yang disebut pepasangan, yakni sarana yang ditanam pada tempat tertentu oleh orang yang bisa melakukan pengiwa. Tujuannya adalah untuk mengenai korbannya sesuai dengan yang diingini si pemasang. Dapat berupa sarana tulang manusia yang dibungkus, atau berupa bubuk tulang yang ditaburkan pada pekarangan rumah orang yang akan dijadikan korban. Dengan adanya pepasangan itu menjadikan situasi rumah tersebut menjadi agak lain, agak seram, penghuninya sakit-sakitan, sering cekcok, dan lain-lain.

Yang lebih hebat lagi ada yang disebut dengan sesawangan, yakni kemampuan seseorang yang mempraktekkan ilmu pengiwa hanya dengan membayangkan wajah atau hanya nama dari calon korban. Sesawangan juga disebut dengan umik-umikan atau acep-acepan atau doa-doa. Dengan kemampuan ini seseorang yang melaksanakannya dapat mencapai korbannya, walaupun dia bersembunyi di balik dinding beton yang tebal dan kuat. Adanya ilmu ini makanya sering kita mendengar kalimat seperti berikut : “walaupun engkau berlindung di dalam gedong batu yang terkunci rapat, aku akan dapat mencapaimu”. Mungkin ilmu sesawanganlah yang digunakan orang tersebut.

Kemudian kalau berbicara mengenai ilmu kewisesan khususnya pengiwa, maka tidak lengkap kalau tidak mengetahui ilmu cetik atau cara meracun orang atau korban. Cetik tersebut identik dengan racun. Ada cetik sekala dan ada cetik niskala. Cetik sekala diartikan bahwa meracun dengan menggunakan sarana tertentu yang tampak nyata, seperti cetik gringsing, cetik cadang galeng, cetik kerikan gangsa, dan lain-lain. Kemudian cetik niskala adalah meracun korban atau orang dengan sarana yang tidak kelihatan. Cetik ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu pengiwa yang sudah tinggi. Hanya dengan memandangi makanan atau minuman saja, maka korbannya akan menjadi sakit seperti yang dikehendaki. Jadi boleh dibilang cetik ini tanpa memerlukan sarana, karena tidak kelihatan.

Tingkatan pengiwa pun sebenarnya sangat banyak. Namun karena suatu kerahasiaan yang tinggi, jadinya tidak banyak orang yang mengetahui. Mungkin hanya sebagian kecil saja dari nama-nama tingkatan tersebut sering terdengar, karena semua ini adalah sangat rahasia. Dan tingkatan-tingkatan yang disampaikan pun kadangkala antara satu perguruan dengan perguruan yang lainnya berbeda. Demikian pula dengan penamaan dari masing-masing tingkatan ada suatu perbedaan. Namun sekali lagi, semuanya tidak jelas betul, karena sifatnya sangat rahasia, karena memang begitulah hukumnya.

Dari sekian macam ilmu pengiwa, ada beberapa yang sering disebut seperti Bajra Kalika yang mempunyai sisya sebanyak seratus orang, dan Aras Ijomaya yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang. Di antaranya adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Suda Mala, Pudak Setegal, Belegod Dewa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran, Sampaian Emas, Kebo Komala, I Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, dan I Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya empat ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog. Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara keseluruhan apabila dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.

Di samping itu, ada tingkatan pengiwa yang mungkin digolongkan tingkat tinggi seperti : Surya Gading, Brahma Kaya, I Wangkas Candi Api, I Ratna Pajajaran, Garuda Emas, Siwer Emas, Baligodawa, Surya Emas, dan Sang Hyang Aji Rimrim.

Di lain pihak ada pula disebutkan bermacam-macam ilmu pengiwa seperti : Kereb Akasa, Pudak Setegal, Geni Sabuana, Siwa Wijaya, Cambra Berag, Rambut Sepetik, Maduri Geges, Pengiwa Swanda, Brahma Maya Murti, Aji Calon Arang, Ratna Geni Sudamala, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Pangenduh, Desti Angker, Gringsing Wayang, Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah Pertiwi, Sang Hyang Sumedang, I Tumpang Wredha, Penyusup Bayu, Sang Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Ratu Sumedang, Sang Hyang Sara Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui tingkatannya yang mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah. Hanya mereka yang mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.

Demikian I Gede Basur menerapkan dan menyebarkan ilmu pengiwa kepada murid-muridnya yang semakin hari semakin bertambah banyak. Semua dari mereka telah menjadi orang-orang yang tangguh dalam urusan pengiwa.

I Gede Basur ini orangnya sangat terkenal karena kesaktiannya dengan ilmu pengeleakan desti, dan dia pernah membuat geger orang-orang desanya karena serangan leak destinya, yang mengakibatkan warga desanya menjadi sangat ketakutan tidak berani keluar malam hari karena siapa yang keluar pada malam hari akan diserang oleh leak desti yang bisa mengisap darah manusia.

Untuk lebih jelasnya tentang kisah Leak Desti I Gede Basur, ceritanya adalah sebagai berikut :

I Gede Basur dalam sehari-harinya hidup sebagai Abdi Kerajaan Udayana yaitu sebagai Tabeng Dada Kerajaan, yaitu Tabeng artinya pelindung dan dada artinya dada pada tubuh manusia.

Tabeng Dada ini adalah sejenis Pasukan Khusus Kerajaan yang tugasnya melindungi Raja apabila ada marabahaya.

I Gede Basur ini punya putra satu orang yang bernama I Wayan Tigaron yaitu merupakan putra kesayangan dan putra satu-satunya.

I Wayan Tigaron jatuh cinta pada Ni Wayan Sukasti yaitu putri dari I Made Tanu, walaupun I Wayan Tigaron ini orangnya sangat kaya, anak seorang abdi kerajaan, tetapi cintanya tetap di tolak oleh Ni Wayan Sukasti karena alasannya ia sudah punya pacar yang barnama I Nyoman Tirta yaitu seorang pemuda tampan dan bijaksana.

Karena cintanya ditolak oleh Ni Wayan Sukasti, maka I Wayan Tigaron sangat marah dan hal ini disampaikan kepada orang tuanya.

I Gede Basur selaku orang tuanya sangat sayang pada anaknya dan menyarankan kepada I Wayan Tigaron agar mencari dan mencintai gadis lain karena di desanya banyak juga gadis-gadis cantik yang tidak kalah cantiknya dengan Ni Wayan Sukasti.

Dinasehati oleh orang tuanya, malah I Wayan Tigaron mengancam mau bunuh diri apabila tidak bisa kawin dengan Ni Wayan Sukasti.

Melihat anaknya nekad seperti itu, maka I Gede Basur terpaksa mengajak anaknya I Wayan Tigaron untuk langsung melamar Ni Wayan Sukasti ke rumahnya.

Setelah sampai di rumah Ni Wayan Sukasti, maka I Gede Basur langsung di sapa oleh I Made Tanu yaitu orang tua Ni Wayan Sukasti dan menanyakan tentang maksud kedatangannya.

I Gede Basur menjawab bahwa kedatangannya kesini adalah tidak ada lain untuk melamar Ni Wayan Sukasti untuk dijadikan istri I Wayan Tigaron.

I Made Tanu tidak berani membuat keputusan dan soal cinta tetap menyerahkan penuh pada putrinya Ni Wayan Sukasti, sedangkan Ni Wayan Sukasti sendiri tidak keluar-keluar dari kamarnya karena ia tidak mencintai I Wayan Tigaron.

Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali Belum selesai pembicaraan I Gede Basur dengan I Made Tanu, tiba-tiba datang dua orang laki-laki yang ternyata I Nyoman Tirta bersama ayahnya.

Baru yang dilihat I Nyoman Tirta datang kemudian Ni Wayan Sukasti dengan segera keluar dari kamarnya menumui I Nyoman Tirta dan menyapa dengan ramah dengan berkata Kakak Nyoman baru datang dan langsung mempersilahkan kepada I Nyoman Tirta dan Ayahnya duduk.

Melihat kelakuan Ni Wayan Sukasti demikian, maka I Gede Basur merasa tersinggung dan sangat marah karena merasa dipermalukan di depan orang yang bernama I Nyoman Tirta.

I Gede Basur karena merasa dirinya sebagai Abdi Kerajaan yaitu sebagai Tabeng Dada Kerajaan, maka dia maunya memaksa I Made Tanu agar menyerahkan putrinya Ni Wayan Sukasti supaya menikah dengan I Wayan Tigaron.

I Made Tanu tidak bisa berbuat apa-apa karena soal cinta dia menyerahkan sepenuhnya kepada putrinya.

Ni Wayan Sukasti menolak mentah-mentah lamaran paksa dari I Gede Basur, sehingga hal inilah yang membuat I Gede Basur menjadi marah dan penasaran.

I Gede Basur mengancam Ni Wayan Sukasti dengan serangan desti yang membahayakan hidupnya dan I Gede Basur tanpa pamit kepada I Made Tanu langsung mengajak putranya I Wayan Tigaron pulang ke rumahnya.

Leak Aneka Rupa

Diceritakan ketika tengah malam tiba I Gede Basur memanggil istri dan putranya I Wayan Tigaron untuk duduk berkumpul di bale daja (balai yang ada di sebelah utara). I Gede Basur kemudian memberikan wejangan kepada semuanya “wahai istri dan anakku, karena Ni Wayan Sukasti tidak mau kawin dengan I Wayan Tigaron, maka kita semua sepatutnya waspada dan hati-hati. Karena tanpa diduga-duga musuh pasti akan menghampiri dan menyerang kita. Untuk melindungi diri, maka aku I Gede Basur akan menurunkan semua yang aku miliki untuk kalian semua. Ilmu pengiwa yang dulu dianugrahkan oleh Ida Betari Durga Bhairawi, akan aku turunkan kepadamu. Ilmu ini akan aku masukkan ke dalam jiwa ragamu sekalian. Ilmu ini sangatlah rahasia, dan tidak boleh dibicarakan atau digunakan sembarangan”. Demikian I Gede Basur memulai acara tersebut.

Untuk persiapan tersebut, I Gede Basur menyuruh istri dan anaknya untuk membersihkan diri dan berkonsentrasi. Ketika semuanya sudah bersih dan ngulengin kayun (berkonsentrasi), pada saat itu I Gede Basur memulai prosesnya. Istri dan anaknya diberikan rerajahan (gambar mistis atau magis) yang berisikan aksara atau tulisan sakti, sambil berkomat-kamit mengucapkan mantra sakti. Rerajahan tersebut diberikan pada bagian buku-buku (persendian), layah (lidah), mata, gigi, gidat (kening), dan paban (ubun-ubun). Dilengkapi pula dengan sesaji yang diperlukan. Setelah semua dirajah, maka I Gede Basur kemudian kembali berkata “sekarang dengarkanlah baik-baik apa yang aku katakan mengenai ilmu yang aku turunkan kepadamu sekalian. Agar tidak salah dalam menggunakannya dikemudian hari. Kamu istriku, aku berikan ilmu yang bernama Aji Ratuning Kawisesan. Sangat sakti ilmu tersebut. I Wayan Tigaron aku turunkan ilmu yang bernama Aji Siwer Emas. Demikian adalah ilmu kewisesan pengiwa yang aku turunkan kepadamu. Ilmu ini adalah ilmu atau ajian yang sangat rahasia. Hanya kita saja yang tahu semua ini, dan aku harap tidak ada yang bercerita sembarangan mengenai ilmu yang kita miliki”. Demikian I Gede Basur memberikan wejangan setelah menurunkan ilmu tersebut dan mulai saat itu istri dan anaknya menjadi sisya atau murid-muridnya.

Selain istri dan anaknya, I Gede Basur juga diceritakan mempunyai sisya atau murid-murid sebanyak tiga puluh tujuh orang. Semuanya berasal dari desa lain jauh dari Desa Karang Pengastian. Mereka diusir dari desanya masing-masing karena kentara mempraktekkan ilmu pengeleakan di desanya terdahulu. Setelah mereka diusir, kemudian mereka berkumpul dan menjadi muridnya I Gede Basur. Mereka tersebut semuanya telah menguasai ilmu kewisesan pengiwa dalam berbagai tingkatan. Mereka telah melakukan ilmu desti, teluh, dan terangjana. Mereka telah lihai dalam membuat cetik, menebar pepasangan, bebai, dan lain-lain. Murid-murid ini sangatlah beraneka ragam kewisesannya.

Semenjak menginjakkan kakinya di Desa Karang Pengastian I Gede Basur telah membentengi dirinya dengan berbagai gegemet (jimat) pelindung. Demikian pula dengan pekarangan rumahnya yang penuh dengan berbagai macam pelindung yang kekuatannya sangat tinggi. Berbagai jenis tumbal rerajahan (pelindung) dipasang di tengah pekarangan rumah, di angkul-angkul, dan lain-lain.

Dengan demikian orang yang ingin berbuat tidak baik akan melihat rumah I Gede Basur dilindungi kerangkeng besi yang kokoh dan tidak bisa ditembus. Sehingga orang tersebut akan mengurungkan niatnya untuk mencelakai si pemilik rumah. Atau dengan tumbal rerajahan yang digelar tersebut mengakibatkan rumah tersebut kelihatan kosong atau tak berpenghuni, atau rumah I Gede Basur tampak seperti lapangan luas yang kosong. Ada pula tumbal rerajahan yang memungkinkan orang masuk ke dalam pekarangan rumah, namun setelah sampai di dalam pekarangan mereka menjadi bingung mencari jalan keluar. Sehingga orang yang berbuat jahat tersebut menjadi ketahuan atau kentara, dan tampak kebingungan. Ada pula pengaruh tumbal rerajahan yang menyebabkan orang telah masuk ke pekarangan rumah, kemudian mengalami tipuan pandangan, seolah-olah ia berada dalam air yang dalam. Sehingga orang tersebut bergelagat seperti berenang di laut. Padahal itu, hanyalah sebuah tipuan maya, akibat dari tumbal rerajahan yang digelar.

Setelah beberapa lama semenjak I Gede Basur menurunkan ilmunya kepada anggota keluarganya, kini ia akan merencanakan untuk mengadakan pembalasan sesuai dengan apa yang ia katakan di hadapan Ni Wayan Sukasti beberapa hari sebelumnya. I Gede Basur mulai menyiapkan segala sesuatu sesuai yang diperlukan untuk tujuan tersebut. termasuk pula persiapan mental mereka yang akan diterjunkan dalam aksi balas dendam terhadap orang-orang yang ada di rumah Ni Wayan Sukasti. I Gede Basur berencana mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya dengan melibatkan seluruh sisyanya. Setelah semuanya merasa siap kini I Gede Basur hanya tinggal menunggu hari yang baik untuk hal tersebut.

Setelah beberapa lama menunggu, maka hari baik yang ditunggu-tunggu telah datang. Hari tersebut adalah hari Weraspati Kajeng Kliwon nemoning tilem (hari kemis kliwon bertepatan dengan bulan mati). Pada mala hari I Gede Basur yang diiringi oleh istri, anak, dan seluruh sisyanya berangkat menuju ke setra atau kuburan yang letaknya jauh di pinggir Desa Karang Pengastian.

Suasananya sangat gelap, karena bertepatan dengan tilem, suasana sunyi senyap karena mereka berjalan di tengah malam. Sangat terasa keangkeran malam itu. Ditambah pula dengan kuburan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon besar seperti pohon beringin, kepuh, kepah, pule, dan tanaman jaka tunggul. Suasana menjadi mencekam yang terasa membuat bulu kuduk seluruh badan menjadi berdiri.

Sesampainya di setra, rombongan I Gede Basur mengambil tempat di tengah tunon atau pemuwunan (areal pembakaran mayat). Di kegelapan malam mereka mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjalankan ilmu pengeleakan tingkat tinggi dan memuja Ida Betari. I Gede Basur duduk bersila di tengah-tengah memusatkan pikiran, menyatukan bayu, sabda, idep, mohon restu dan anugrah kehadapan Ida Betari agar pengiwa yang digelar menjadi sempurna dan sakti mandraguna.

Sambil mata terpejam, I Gede Basur berkomat-kamit mengucapkan mantra-mantra sakti dan rahasia. Demikian pula I Gede Basur didampingi oleh para sisyanya yang semua telah mengenakan kamben duur entud (kain setinggi lutut) dengan rurub putih merajah (kain putih bergambar mistis). Para sisya semuanya mengelilingi I Gede Basur sambil menari-nari, dangkrak-dingkrik, dangklang-dengkleng, dengan rambut megambahan (terurai). Semuanya larut dalam konsentrasi dan juga tarian mereka masing-masing, sampai akhirnya penestian mereka semuanya tasak (mencapai puncak). Ketika semuanya telah mencapai puncaknya, maka semuanya telah nyuti rupa (berubah wujud) menjadi berbagai macam rupa leak sesuai dengan tingkat ilmu yang dikuasai oleh murid-murid I Gede Basur. Ada yang berwujud bojok (kera), bangkal mecaling renggah (babi bertaring panjang), kambing, gegendu kebo mebatis telu (kerbau berkaki tiga), gegendu jaran mebatis tetelu (kuda berkaki tiga), cicing bengil (anjing kurus dan kotor), kreb kasa (untaian kain panjang putih), bade (usungan jenasah bertingkat), dan berbagai macam rupa yang menyeramkan. Para leak semuanya menjadi semakin riang gembira menari-nari ketika hujan gerimis turun dan membasahi tanah yang kering. Bau angid (gurih) yang muncul dari tanah kering tersiram air tersebut menambah gembiranya para leak.

Pada puncaknya, I Gede Basur kemudian terbangun dari duduknya dan menuding kepada semua leak muridnya dan berkata “wahai engkau muridku semuanya yang telah berubah wujud, laksanakanlah tugasmu sekarang sesuai dengan rencana kita. Pergilah ke rumah Ni Wayan Sukasti sekarang juga. Hancurkan Sukasti dan keluarganya itu, sakiti semua yang hidup disana agar mereka semua mampus. Berbuatlah sesuka hatimu disana. Tebarkan cetik, bebai, upas, wisya dan lain-lain yang kau miliki, sehingga mereka semuanya menjadi menderita. Keluarkan segala ilmu leak yang telah aku ajarkan kepadamu. Aku akan mengawasi engkau semua dari sini”. Demikian perintah I Gede Basur kepada seluruh sisyanya. Segera semuanya berubah menjadi endih (bola api) beraneka warna dan beterbangan ke angkasa pergi menuju Desa tempat tinggal Ni Wayan Sukasti dan keluarganya.

Apa yang menjadi ancaman I Gede Basur menjadi kenyataan yaitu pada hari ketiganya Ni Wayan Sukasti diserang desti sehingga ia jatuh sakit yaitu perutnya dirasakan sangat sakit kemudian muntah darah dan akhirnya lemas tak sadarkan diri.

I Made Tanu orang tua Ni Wayan Sukasti sangat panik dan kemudian dia minta tolong kepada seorang Balian (dukun) untuk mengobati penyakit Ni Wayan Sukasti.

Balian ini memang kebetulan datang ke rumah Ni Wayan Sukasti dan berlagak sombong bahwa dia adalah seorang Balian Sakti yang bisa menyembuhkan segala penyakit termasuk penyakit kena leak Desti.

Karena penyakit Ni Wayan Sukasti sangat parah, maka Balian tersebut tidak bisa menyembuhkan Ni Wayan Sukasti dan malah Balian itu sendiri diserang oleh Leak Desti, sehingga Balian tersebut sakit perut dan muntah darah tak sadarkan diri.

Ni Wayan Sukasti punya Kakek yang sering dijuluki dengan nama Kakek Wiku yaitu seorang Kakek yang menguasai ilmu pengobatan Usada Bali (Obat Tradisional Bali) dan sangat sakti.

“Siat Peteng” Mengadu Kewisesan

Diceritakan I Made Tanu minta bantuan kepada ayahnya yaitu Kakek Wiku dan telah mengumpulkan tokoh masyarakat dan penduduk yang mempunyai ilmu kanuragan atau ilmu kewisesan. Mereka semua dikumpulkan di rumah Kakek Wiku dan diberikan pengarahan mengenai rencana ada pertempuran dengan I Gede Basur dan sisyanya di malam hari.

Waktu yang ditetapkan untuk pertempuran telah tiba. Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan yaitu berupa jimat-jimat magis yang diyakini bisa melindungi dirinya. Bagi mereka yang menguasai ilmu kanuragan tinggi, langsung berangkat melalui udara, terbang menuju Desa Karang Pengastian. Sedangkan yang lainnya melakukan perjalanan darat secara beramai-ramai berjalan di tengah kegelapan malam. Kakek Wiku sendiri tidak ikut pada saat itu, karena masih melakukan tapa samadi dalam rangka ngeregepan kesaktian yaitu menunggalkan bayu (tenaga), sabda (suara), idep (pikiran) untuk membangkitkan ilmu kesaktian dalam dirinya.

Karena kesaktian I Gede Basur, maka kedatangan I Made Tanu dan teman-temannya telah diketahui sebelumnya. Sehingga I Gede Basur memerintahkan kepada seluruh sisya-sisyanya untuk bersiaga di perbatasan Desa Karang Pengastian. I Gede Basur beserta sisyanya telah bersiaga menyambut kedatangan para rombongan I Made Tanu yang akan menggempur I Gede Basur dan sisyanya. I Gede Basur telah menggelar semua ilmu yang dimiliki dan telah menyengker atau memagari Desa Karang Pengastian dengan penyengker atau pagar gaib, sehingga kekuatan musuh tidak dapat menembus pertahanan tersebut.

Pada tengah malam, sampailah para rombongan I Made Tanu di perbatasan Desa Karang Pengastian. Mereka langsung menggelar ajian yang mereka miliki dan menyerang musuh yang telah menghadang. Serangan tersebut kemudian dihadang oleh para murid I Gede Basur, sehingga terjadilah siat peteng (pertempuran ilmu kanuragan di malam hari) yang sangat dasyat. Bola-bola api beterbangan di antara kedua belah pihak. Taburan cahaya gemerlap aneka warna di angkasa yang saling berkelebat, berkejar-kejaran, dan saling berbenturan. Langit Karang Pengastian pada mala itu bagaikan kejatuhan bintang dari langit yang jumlahnya ribuan. Memang sungguh-sungguh digjaya mereka semua. Tidak beberapa lama siat peteng berlangsung, serangan dari para rombongan I Made Tanu dapat dipatahkan oleh ketangguhan dari ilmu yang dimiliki oleh murid-murid I Gede Basur. Para rombongan I Made Tanu berhamburan berlari meninggalkan arena pertempuran karena terdesak. Mereka berusaha untuk menyelematkan diri. Setelah mengalami desakan dari pasukan leak Desti I Gede Basur di Karang Pengastian, maka para rombongan I Made Tanu memutuskan untuk berbalik dan kembali ke rumahnya, serta melaporkan semuanya kehadapan kakek Wiku yaitu Kakek Ni Wayan Sukasti.

Kekalahan I Made Tanu menyebabkan pasukan leak Desti bergembira. Mereka semua tertawa ngakak yang suaranya nyaring dan keras membelah angkasa. Suaranya mengalun, melengking memenuhi angkasa dan berpantulan di antara bukit-bukit. Sehingga terasa mengerikan sekali suasananya pada malam hari tersebut, mereka semua menari-nari di angkasa, berwujud bola-bola api saling berkejar-kejaran merayakan kemenangannya.

Kembali secara sekilas diceritakan keadaan di rumah Ni Wayan Sukasti. Para lelaki desa yang dewasa setiap hari berjaga-jaga pada malam hari. Sedangkan yang perempuan tinggal di rumah dan berkumpul dalam jumlah banyak. Karena tidak ada yang berani tidur atau tingal di rumah sendirian. Sebab suasana di rumah Ni Wayan Sukasti pada saat itu masih sangat mencekam. Lolongan anjing masih terus terdengar di malam hari. Mereka terus berjaga-jaga dan selalu memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar segera dibebaskan dari masalah penyakit desti tersebut. Demikian situasi di rumah Ni Wayan Sukasti setiap hari.

Kembali sekarang diceritakan mengenai perjalanan I Made Tanu beserta dengan rombongan yang kalah perang. Pada pagi hari mereka telah sampai di rumah Kakek Wiku. Segera mereka menghadap Kakek Wiku dan melaporkan segala sesuatunya.

Melihat rombongan I Made Tanu yang datang tampak utuh semuanya, Kakek Wiku tampak merasa gembira. Namun ketika mendengar semua laporan dari I Made Tanu, Kakek Wiku menjadi kaget dan semakin susah hati beliau.

I Made Tanu berkata kepada ayahnya (Kakek Wiku) : “Mohon ampun ayah, saya permaklumkan bahwa murid-murid I Gede Basur benar-benar teguh (kuat). Rombongan kami tidak mampu mengalahkannya.” Demikian permakluman I Made Tanu kehadapan ayahnya Si Kakek Wiku.

Kakek Wiku yang bijaksana kemudian bersabda “wahai Made Tanu beserta semua para kanti, kalah menang dalam peperangan sudah menjadi hukumnya. Janganlah berputus asa. Karena masih ada waktu dan masih ada cara lain utnuk menumpas I Gede Basur beserta dengan antek-anteknya. Gempur kembali I Gede Basur. Kalau tidak mampu di malam hari, gempurlah ia di siang hari. Kalau tidak bisa dengan seratus orang, maka gempurlah ia dengan seribu orang”. “Harus kalian ingat mengenai Swadharmaning ring payudhan (kewajiban dalam pertempuran). Dalam Shanti Parwa disebutkan bhawa apabila mati dalam peperangan, maka darah yang mengalir muncrat akan menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau Sang Atma akan menuju Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan dijadikan pedoman. Semuanya itu adalah merupakan sebuah pengorbanan yang suci atau yadnya yang digolongkan yadnya utama”. Demikian kakek Wiku memberikan wejangan kepada I Made Tanu dan para kantinya (teman- temannya) yang hampir putus asa karena kalah perang.

Mendengar wejangan tersebut, I Made Tanu beserta dengan para kantinya merasakan hidup kembali dan bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan bebayon (tenaga dalam), sehingga semangatnya tumbuh kembali. I Made Tanu kemudian berkata : “Baiklah ayahnda, sangat senang saya mendengar wejangan tersebut. Sekarang saya sadar dan yakin akan diri. Saya akan mebela pati dan metoh urip (membela mati-matian dan menyabung nyawa) menghadapi I Gede Basur beserta dengan murid-muridnya”. Pernyataan I MadeTanu tersebut dibarengi oleh seluruh para kantinya.

“Baiklah kalau begitu, Aku sebagai kakek Ni Wayan Sukasti sangat menghargainya. Untuk penyerangan kali ini aku akan membantunya dengan beberapa sissya kakek yang terpilih sebanyak dua ratus orang, sedangkan aku sendiri yang akan menghadapi langsung I Gede Basur.” Semua sisya ilmu putih akan mengawal dan membantu I Made Tanu dalam menumpas kejahatan yang dilakukan oleh I Gede Basur.

Setelah semua keputusan Kakek wiku disampaikan, para sisya ilmu putih kemudian membubarkan diri untuk persiapan penyerbuan kembali pada keesokan harinya. Segala sesuatu perlengkapan segera dipersiapkan seperti senjata tajam berupa tombak, keris, klewang, dan lain-lain. Demikian pula dengan berbagai sarana pelindung badan yang gaib sebagai sarana penolak atau penempur leak, sarana kekebalan, semuanya diturunkan dari tempatnya yang pingit (tempat rahasia). Yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan mengenai perbekalan makanan dan minuman yang diperlukan selama penyerangan. Ketika semua persiapan dianggap rampung, maka mereka pun istirahat agar tenaganya cukup kuat untuk penyerangan besok.

Hari yang ditentukan untuk penyerangan telah tiba, maka pada tengah malam penyerangan segera dilakukan dan pertarunganpun terjadi pada malam hari dengan ilmu kesaktiannya masing-masing, yang mana Ilmu Kesaktian I Gede Basur lebih rendah daripada Ilmu Kesaktian Kakek Wiku sehingga I Gede Basur pada pertarungan tersebut kalah.

I Gede Basur Haturkan Sembah

Dalam keadaan yang tidak berdaya kemudian I Gede Basur mengucapkan kata-katanya terakhir : “Wahai Kakek Wiku dan Made Tanu, sudahi peperangan ini sampai disini, sekarang mari kita bersatu kembali semuanya karena kita adalah satu dan tunggal kawitan. Setelah sekian lama kita bersengketa dan bermusuhan kini mari kita bersatu kembali. Wahai Made Tanu, semua yang saya lakukan ini adalah karena saya ingin agar anak saya I Wayan Tigaron bisa mendapatkan gadis idamannya Ni Wayan Sukasti untuk dijadikan istri.

Demikian juga untuk mengingatkan kepada seluruh manusia agar selalu ingat dalam persaudaraan dan tidak melupakan kawitannya”. “Pada akhir dari hidup saya di dunia ini, saya mohon ampun kehadapan Made Tanu. Karena saya telah berbuat yang menyebabkan Ni Wayan Sukasti sakit. Saya harus menebus semua dosa-dosa yang telah saya perbuat, dan menanggung semua karmapala atas semua yang telah saya perbuat. Itulah yang dapat saya katakan, dan sekarang saya mohon pamit”. Demikian I Gede Basur menyampaikan kata-kata terakhirnya kehadapan semua yang ada di sana, sambil menyakupkan kedua belah tangannya. Ketika itu pula I Gede Basur dengan tenang menghembuskan nafasnya yang terakhir. Hujan gerimis mengiringi kepergian I Gede Basur ke Sunialoka. Suasana yang tadinya penuh dengan kebencian dan kemarahan, kini berubah menjadi suasana haru.

Kematian I Gede Basur kemudian membuat geger Desa Karang Pengastian. I Gede Basur dinyatakan bersalah atas semua tingkah lakunya tersebut.

Berdasarkan atas hal tersebut, maka Kakek Wiku memerintahkan agar memperlakukan jasad I Gede Basur untuk dibuatkan upacara sebagaimana mestinya. Demikian pula seluruh murid-murid I Gede Basur yang semuanya adalah rakyat Desa Karang Pengastian yang gugur semuanya segera dibuatkan upacara. Kakek Wiku menitahkan untuk melaksanakan upacara Pitra Yadnya atau pengabenan secara bersama-sama atau ngerit.

Mengingat tugas yang dititahkan oleh Kakek Wiku telah selesai, para sisya Kakek Wiku berniat kembali pulang ke rumah masing-masing, Kakek Wikupun tidak berkeberatan. Namun sebelum bertolak, Kakek Wiku berkata kepada para sisya : “Wahai seluruh sisya, sekarang musuh telah dapat ditumpas. Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada para sisya. Sekarang saya akan menyelesaikan urusan upacara ini semuanya terdahulu.

Sekarang diceritakan mengenai kesibukan dari seluruh masyarakat yang akan menyelenggarakan upacara pembersihan terhadap jasad para korban yang meninggal dalam suatu ngaben massal atau ngerit. Para sisya Kakek Wiku dan para murid I Gede Basur yang meninggal dalam pertempuran mendapat perlakuan upacara yang sama. Semua jasadnya akan dibakar di setra agung untuk mempercepat pengembalian jasadnya ke alam menjadi unsur-unsur alam yang disebut dengan Panca Maha Buta yang terdiri dari bayu (angin), apah (air), teja (panas atau sinar), pertiwi (tanah), dan akasa (ruang kosong). Demikian agar jiwa mereka mendapatkan kesucian dan ketenangan, untuk menuju ke alam sunya (akhirat) sesuai dengan karmanya masing-masing selama hidup di mercapada (dunia ini).

Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali Sebab para krabat dan handai taulan akan mengantar si meninggal hanya sampai di tempat pembakaran mayat atau kuburan. Setelah itu akan membalikkan badan dan meninggalkan si meninggal. Hanya subhakarma dan asubhakarma (perbuatan baik dan perbuatan buruk) yang pernah dilakukan yang akan menemani si meninggal menuju alam berikutnya. Sedangkan badan atau paras muka yang cantik atau tampan akan menjadi hancur, harta benda, dan lain-lain semuanya tidak bisa dibawa serta. Hanya karmalah yang akan menjadi pengikut setia. Demikian diungkapkan dalam pustaka suci Sarasamuscaya.

Diceritakan sangat ramai sekali yadnya yang dibangun masyarakat Desa Karang Pengastian secara bersama-sama dan bergotong royong. Berbagai macam petulangan (wadah tulang) dibuat, demikian pula dengan bade (usungan jenasah) dibuat dengan seindah mungkin. Ada bade bertumpang pitu (tingkat tujuh), tumpang sanga (tingkat sembilan), ada lembu hitam, lembu putih, ada pula berbentuk singa. Semuanya dibuat seindah mungkin yang dibuat oleh para undagi (tukang wadah atau tukang bade). Dengan beraneka warna kapas yang ditempatkan pada sarana bade tersebut.

Para wanita sibuk mempersiapkan tetandingan-tetandingan yang diperlukan untuk upacara ngaben tersebut. Setelah semuanya selesai dipersiapkan maka upacara pengabenan tersebut pun diselenggarakan dengan mengambil tempat di pemuwunan setra agung. Gambelan angklung, gong saron, dan beleganjur sudah saling bersahutan dari sejak pagi. Semua wadah, lembu, di berangkatkan menuju ke tempat upacara. Sangat ramai kalau diceritakan. Ketika itu dipentaskan tari ketekok jago, sebagai tari pengantar sang jiwa menuju ke suniakola. Ida Sang Sulinggih memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan memberikan penyucian kepada semua arwah yang diaben. Dan pada akhir upacara tersebut, semua tulang-tulang dihanyutkan ke segara (laut).

Berselang satu bulan tujuh hari semenjak upacara pengabenan tersebut, kemudian dilakukan upacara memukur atau atma wedana atau meligia, sampai akhirnya para pitra (atma) yang disucikan tersebut dilinggihkan (distanakan) di merajan rong tiga atau tempat suci keluarga masing-masing. Dengan demikian, rentetan upacara Pitra Yadnya tersebut telah rampung. Dengan harapan semua yang telah meninggal mendapatkan kesucian dan ketenangan, dan tidak ada lagi atma kesasar (roh gentayangan). Di samping itu pula, bagi mereka yang masih hidup agar diberkahi kesejahteraan.

Terhadap sisya yang masih hidup, namun mengalami luka-luka juga mendapatkan perawatan. Mereka semua diberikan obat, termasuk pula mereka yang terkena imbas ilmu hitam ketika siat peteng terdahulu. Semuanya mendapatkan perhatian sungguh-sungguh, atas kebijaksanaan dari Kakek Wiku. Diceritakan setelah beberapa lama kemudian, semua prajurit yang terluka dan kena imbas ilmu hitam mengalami kesembuhan seperti sedia kala atas asung wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa (atas kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan).

Diceritakan Ni Wayan Sukasti bahwa, dengan meninggalnya I Gede Basur, maka Ni Wayan Sukasti akhirnya sembuh seperti sedia kala tanpa diobati dan kemudian dilangsungkan dengan acara pernikahan antara Ni Wayan Sukasti dengan I Nyoman Tirta.

Leak Desti yang merupakan warisan dari I Gede Basur, sampai saat sekarang ilmu tersebut masih berkembang di Bali, karena ada generasi penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di Bali.

Sumber : Adang Suprapto(http://www.parissweethome.com)